Sabtu, 10 Agustus 2019

Komet Minor: Tentang Pengorbanan yang Teramat Besar


Pemburu yang baik tidak harus bisa melihat. Pemburu yang baik adalah yang bisa mengetahui kelebihan dan kelemahannya. Melatih kelebihannya, sekaligus mengatasi kelemahannya. (Halaman 204)
Raib, Seli dan Ali adalah anak remaja yang memiliki kekuatan tidak biasa. Keberanian dan tekad bulat mengantarkan mereka berpetualang ke beberapa klan, yang tentunya harus menghadapi berbagai rintangan.
Masih melanjutkan kisah dari buku Komet, Komet Minor ini menceritakan perjuangan Raib, Seli, dan Ali dalam menghalangi ambisi Tanpa Mahkota untuk menguasai kekuatan paling besar di seluruh klan. Dengan kehadiran Batozar, cerita mereka semakin seru dan menegangkan.
Jika di buku-buku sebelumnya ketiga remaja ini selalu memulai cerita di klan Bumi (dengan Ali yang tetap setia membuat ulah), maka buku kali ini dimulai di pintu Komet Minor, melanjutkan pemburuan senjata pusaka yang dimulai di buku Komet. Jadi bisa dikatakan petualangan berlomba dengan Tanpa Mahkota lebih membutuhkan banyak waktu dibanding dengan petualangan lainnya. Mungkin karena bagian ini lah puncak masalahnya.
Kali ini saya tidak akan mengulas banyak isi cerita, takut keterusan dan berakhir menjadi spoiler. Saya lebih tertarik mengungkap alasan kenapa tidak bosan membaca seri Bumi ini yang entah kapan selesainya.
Di tengah meledaknya novel-novel remaja beraliran romansa, Tere Liye tetap setia mengusung tema yang beda, berani dan terdidik, yang jika menurut saya, buku-bukunya memang layak dipajang di rak perpustakaan sekolah. Bukan berarti buku lain tidak layak, hanya saja saya memang memimpikan anak-anak remaja mencontohi keteguhan Raib, ketangguhan Seli, dan ketenangan Ali.
Sebenarnya beberapa menganggap semua seri Bumi tidak cocok untuk remaja dari segi bahasa, mungkin karena gaya tulisan Tere Liye yang memang tidak akan sama dengan Pidi Baiq atau Rintik Sedu, tapi itu tergantung dari selera pembacanya, toh di buku ini saya sama sekali tidak menemukan istilah berat seperti di buku Negeri Para Bedebah, Negeri di Ujung Tanduk atau Tentang Kamu.
Salah satu bukti Tere Liye cukup perhatian dengan tren remaja di buku ini adalah adanya istilah ‘galau’ dan ‘baperan’ yang dimunculkan oleh Batozar. Oh, ngomong-ngomong soal Batozar, manusia seram ini ternyata sudah bisa melucu, bahkan kalimatnya tidak terbolak-balik lagi. Dan yang lebih jelas, dia semakin badas! Super badas, kata Ali.
Ali? Ada fakta baru tentang cowok ketombean ini. Tentang asal-usul keluarganya. Tentang asal-usul kekuatannya. Sementara itu Raib masih bingung siapa orangtua kandungnya.
“Apa itu definisi keluarga? Aku tidak tahu. Aku lebih memilih menjalaninya. Mengusir rasa takut kehilangan. Mengusir rasa takut pulang, takut menyingkap semua masa lalu. Atau mengusir rasa takut jika esok lusa kekecewaan akan datang. Mengusir semuanya, lantas memeluknya dengan erat. Maka hari ini, inilah keluargaku. Aku menjalaninya, tidak akan pernah pusing apa definisinya. Itulah keluarga menurutku.” (Halaman 283)
Ali benar, kebanyakan dari kita terlalu memusingkan suatu defenisi, sesuatu yang rumit, padahal kita bisa tinggal menjalaninya saja. Apalah arti definisi, jika hakikatnya bisa kita rasakan? 

Buku ini rupanya bukan seri terakhir, menurut bocoran dari Tere Liye, masih akan ada Nebula (kisah orangtua Raib), Proxima Centauri (dengan tokoh-tokoh yang berbeda) dan si Putih (kucing kesayangan Raib). Semoga seri berikutnya tidak mengecewakan. Hehe.
Selain mengajarkan persahabatan sejati, pengorbanan, dan ketulusan, buku ini juga memberikan hiburan tersendiri, apalagi untuk pembaca yang menyukai genre fantasi. Meskipun buku ini berada di segmen remaja, kamu yang menyukai cerita petualangan tidak ada salahnya untuk membaca. Tidak perlu membeli, cukup meminjam buku dari teman, atau di perpustakaan online. Seperti kata penulisnya, dia tidak akan bangkrut jika kamu tidak membeli buku-bukunya.  
Selamat membaca!

Sabtu, 21 Juli 2018

Review: Ingin Kupilih Takdirku - Desti Annor

Judul : Ingin Kupilih Takdirku
Penulis: Desti Annor
Editor: Said Kamil
Ketebalan : 264 hlm
Genre: Religi
Penerbit: Tinta Medina (Tiga Serangkai)

Berkisah tentang empat tokoh yang dihubungkan oleh takdir, namun tetap memiliki keresahan hidup masing-masing. Galetta yang kokoh setelah menemukan prinsip baru, Maizy yang menemukan hakikat harga diri seorang perempuan, Haq dengan kasih dan kejujurannya, dan Aji bersama penemuan makna komitmen sesungguhnya.

Sebuah perjalanan hidup yang memberi mereka pemahaman akan kuasanya tangan Pencipta, menyajikan makna bahwa takdir Tuhan terasa indah jika diperankan dengan sebuah keikhlasan.

Jujur saja, karya ini merupakan karya religi yang pertama kali saya baca selama melepas bangku SMA, jadi wajar apabila di saat membacanya, saya membandingkan dengan novel-novel religi karya Ari Nur, Asma Nadia dan Habiburrahman El Shirazy yang saya baca pada saat itu. Hasilnya? Berikut jawaban saya. 

Secara pribadi, ada tiga hal yang membuat saya membeli sebuah karya (untuk penulis yang baru ingin saya baca karyanya), pertama sampul. Sampul adalah visual yang mengundang saya menentukan akan mengambil karya tersebut dari rak toko buku atau mengabaikannya. Dua, Blurbs. Bagian belakang yang biasanya menampilkan potongan kisah. Tiga, review dari pembaca lain. Jika ketiganya oke, maka saya akan beli. 

Tapi berbeda dengan buku ini. Saya mendapatkannya dengan melanggar prinsip, mengingat sampulnya tidak membuat saya tertarik. Ilustrasi jejak kaki di bibir pantai, dipadukan warna coklat telah memberikan kesan gelap dan kesedihan. Hm, sangat bukan saya. Saya menyukai warna yang cerah dan ceria dengan ilustrasi yang lucu, terkecuali untuk genre Horor dan Sci-fi. Entah Tiga Serangkai memang memiliki karakter sampul seperti itu atau bagaimana, saja juga kurang paham, sebab baru kali ini juga saya membaca karya keluaran penerbit ini. 

Lalu mengapa saya membeli jika kesan pertama saja buku ini gagal seleksi?, sebab saya terlanjur penasaran karena diberi bonus baca dua bab oleh penulisnya, alhasil saya memutuskan untuk mendapatkan buku ini. Harus menuntaskan kisah kesuraman Galetta dan kemanjaan Maizy.

Lanjut! 

Plot karya ini memakai alur maju-mundur-maju-mundur (nggak pakai cantik, ya?), dan sejauh pengalaman membaca fiksi, saya merasa plot seperti ini memang biasanya memberikan rasa penasaran kepada pembaca meskipun resiko cerita akan tampak jalan di tempat. Untungnya, penulis menghilangkan keraguan saya, ceritanya tetap mengalir dengan gerak cepat. Sayangnya di tengah rasa penasaran saya, ada hal yang sedikit mengganggu yaitu perubahan latar yang seolah tiba-tiba (karena tanpa tanda pemisah di setiap bagian) hingga saya harus mengulang ke paragraf sebelumnya lagi untuk meyakinkan bahwa telah terjadi pergantian bagian.

Lanjut!

Penokohan. Semua karakter saya suka, terkecuali Aji. Aji ini memang dikesankan romantis di dalam cerita. Yang jadi masalah, saya tidak suka dengan tokoh yang romantis. Wkwkwk (padahal saya pecinta genre romance). Maksud saya begini, romantisnya Aji adalah romantis yang pada umumnya disepakati oleh orang-orang, namun 'romantis' bagi saya memiliki makna dan aplikasi berbeda. Kesimpulannya, romantisnya Aji tidak berarti romantis bagi saya. Saya tidak menyukai tokoh cowok yang seolah-olah bisa berdarah-darah karena asmara. Ekhem.

Lanjut!

Gaya bahasa. Ada tiga poin yang biasanya saya lihat dalam menentukan gaya bahasa penulis. Narasi/deskripsi, dialog tokoh dan perumpamaan (Ya, iyalah! Apalagi?).

Saya suka cara Mbak Desti mendeskripsikan sesuatu, tidak berbelit-belit dan tidak berputar-putar. Hal itu pun menjadi selaras dengan ketebalan buku yang pas pula. 

Dialog. Untuk bagian ini saya akan mengatakan 'Iyes'. Dialog di karya ini ada banyak, mungkin perbandingannya 40 dengan 60 di bagian narasi/deskripsinya. Saya suka dialog yang banyak, selain tidak membosankan, juga membuat saya lebih dekat dengan tokohnya.

Perumpamaan. Mbak Desti menggunakan perumpamaan yang indah, mulus dan syahdu. Bagi saya yang memang terbiasa membaca fiksi metropop, yang bahasanya to the point, bagian ini sudah saya kategorikan sebagai karya yang sastra, walau tidak 100% juga.

Simpulannya, dengan narasi/deskripsi yang indah namun pas, dialog yang nyaris baku dan perumpamaan yang 'nyastra', gaya bahasa Mbak Desti terkesan lembut, lirih dan halus. Jauh dari kesan serampangan. Saya seperti membaca fiksi kepunyaan majalah Gadis dengan versi lebih panjang.


Ada bagian paling mengganggu, yaitu di halaman 165. Saya bahkan tidak paham meski dibaca berulang-ulang (karena pesan penulisnya saya tidak boleh spoiler, maka saya tidak menampilkan paragraf tersebut).

"Jadi, Mbak, tolong jelasin ke saya halaman itu maksudnya apa? Kenapa Mbak Desti tega sekali memasukkan paragraf di bagian buntut yang membuat saya jadi pusing? Memangnya saya Barbie yang harus dibuat pusing dulu palanya?" 

Oke, skip, dramanya cukup.

Bagian mengganggu lainnya adalah surat dari Haq untuk Galetta yang tidak ditampilkan. Galetta dikesankan bertanya dan berharap (walau tidak berlebihan) akibat surat itu, tentu saja membuat saya ingin tahu, "isi suratnya seperti apa, sih, sampai-sampai Galetta yang kaku itu jadi tersentuh?"

Tapi bagian terbaiknya adalah... Tetedet tedeeeetttt...

Quote di halaman 216 yang berisi penggalan doa Rasulullah SAW saat hijrah ke Thaif. Saya sampai baca berulang-ulang. Dan kali ini asli bukan karena pusing, tapi merinding. Saya berpikir, jika saja seorang Rasul merasakan dirinya selemah itu, mengapa manusia bisa menegakkan kepala dengan congkaknya? Quote ini pun saya anggap menjadi kesimpulan kisah-kisah di dalamnya.

Bagian terbaik lainnya adalah tema yang diangkat penulis. Jika biasanya novel religi mengangkat dan fokus pada satu tema, karya ini justru punya tema yang cukup komplit. Ada rasa kekeluargaan, sahabat dan asmara yang dikemas apik dalam balutan religi, jadi pembaca bisa memilih pesan keagamaan dengan lebih leluasa.

Terakhir, saya menyukai prinsip yang dipegang kuat oleh tokoh-tokohnya. Begitu erat, kuat dan kokoh. Dan bukankah seorang muslim tanpa sebuah prinsip sama saja dengan mati?

Sekian review panjangnya. Dari 1 sampai 5, saya kasih bintang sebanyak 4. Yeay!

Kamis, 15 Juni 2017

[Review] Hujan-Tere Liye

Perpaduan Imajinasi dan Logika yang Liar

Judul Buku : Hujan
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Sampul : Orkha Creative
Halaman : 320 Halaman


Ini pertama kalinya saya meresensi karya Tere Liye, maka seperti biasa, saya ingin menceritakan sedikit kilas balik mengapa saya membeli buku ini.
Saya tahu penulis Tere Liye sejak SMA kelas sebelas, tepatnya tujuh tahun lalu. Waktu itu Hafalan Shalat Delisa sudah nangkring manis di beberapa tempat penyewaan buku, termasuk penyewaan yang sering saya kunjungi. Akan tetapi saya tidak pernah merasa tertarik untuk meliriknya, karena pada saat itu saya lebih menggilai novel romance remaja.
Selama menempuh masa kuliah, saya semakin kecanduan oleh fiksi berujud buku. Nama Tere Liye semakin dikenali seiring dengan karya-karyanya yang diangkat menjadi film. Saya pun tahu kalau tulisannya sangat menginspirasi dari berbagai kalangan, bahkan seorang teman (laki-laki) yang saya tahu tidak tertarik dengan hal-hal berbau fiksi mengagumi penulis inspiratif ini. Lagi-lagi saya tidak terpancing, di kala itu kata ‘inspiratif’ sama dengan ‘menggurui’ di telinga saya. Masa berlalu, Tere Liye tidak terlirik.
Akhirnya, empat hari yang lalu, tepatnya 16 April 2017, saya memiliki kesempatan untuk memburu buku yang sudah ditarget sejak lama. Di saat itu saya melihat Hujan dan Tentang Kamu di antara barisan buku lainnya di Gramedia. Waktu itu saya merasa sudah saatnya lah untuk mencoba mengenali karya Tere Liye, mungkin dimulai dari Hujan atau Tentang Kamu atau keduanya. Tapi melihat kondisi kantong yang kering, mau tidak mau saya harus meletakkan kembali salah satunya di rak buku. Apa daya, duit tak sampai.
Setelah menimbang berdasar sinopsis dan harga buku, saya memutuskan membeli Hujan. Sampul yang didominasi warna biru dengan ilustrasi tetes hujan di bagian belakang membuat buku terkesan manis dan romantis. Tanpa sabar, saya langsung membaca halaman pertama begitu mendapatkan waktu yang pas.
Saya salah besar. Ternyata, di menit pertama saya membaca buku ini, kesan berat pada karya-karya Tere Liye langsung luluh. Bahasanya cukup halus, rapi dan terjaga walau saya tidak menemukan gaya santai di sana. Tema dan cara penyajiannya membuat saya sulit untuk tidak membandingkannya dengan Luna Torashyngu, karyanya berupa perpaduan imajinasi dan logika yang liar. Bedanya, membaca Hujan seperti saat saya membaca karya terjemahan. Ya, itu tadi, bahasanya sangat rapi. Sedangkan Luna masih terkesan santai dan meremaja. Mungkin karena beberapa karyanya memang didesain untuk remaja.
Setelah membaca beberapa bab, saya jadi mengangguk-anggukkan kepala. Jadi mengerti mengapa Tere Liye bisa dikagumi oleh pembaca berbagai kalangan. Karakter tulisannya universal sekali, membuat pembacanya yang justru ikut beradaptasi dengan gayanya. Termasuk saya.
Tidak usah ditanya tentang kesalahan penulisan di dalamnya, itu sudah tidak penting lagi. Menurut saya, penulis sekelas Tere Liye seharusnya tidak diragukan lagi tata bahasanya. Kalaupun ada, saya tidak sempat lagi melihatnya karena sudah terhanyut dengan ceritanya. 
Awalnya sulit untuk menentukan genre Hujan ini. Di bab-bab awal, saya merasa buku ini bergenre fantasi, lalu berubah ke petualang, dan terakhir menjadi ilmu pengetahuan. Yang kalau anak kekinian bilang sih, Science fiction. Tapi apa pun genrenya, nilai inspiratif tetap menyelimuti karya ini. Dan satu lagi, ketakutan saya seketika musnah. Saya tidak menemukan kalimat menggurui di sini. Yeay!
Sebagai pecinta romance, sepertinya saya harus bersabar membaca kisah Esok-Lail di dalam. Kisah mereka berjalan begitu apa adanya, mengalir seperti air. Ya, saya tahu kalau Tere Liye bukanlah penulis yang menyukai adegan menye-menye (dilihat dari postingannya di fanpage FB), tapi tetap saja saya merasa gemas dengan karakter Esok. Apa semua laki-laki jenius memang seperti itu? Karena matilah saya yang berkarakter aktif, lincah dan ekspresif ini jika (ekhem) mendapatkan jodoh yang seperti itu. Hahaha....
Yang saya sukai dari Hujan ini adalah plot yang kece dan penggambaran yang luar biasa. Serius, saya memberi bintang lima kapada penulisnya karena berhasil membuat saya turut berimajinasi. Latarnya begitu detail, deskripsi suasananya juara. Walau penulis tidak menyebutkan negara yang diambil sebagai latar secara langsung, saya tidak pernah menganggap bahwa negara itu adalah Indonesia. Entah karena deskripsinya yang bukan Indonesia sekali atau memang karena novel ini bersetting 2042-2050, jadi saya sebagai manusia di jaman 2017 tidak meramalkan Indonesia akan seperti itu di masa depan. Alasan inilah saya menyebutkan bahwa Tere Liye adalah penulis imajinatif yang liar. 
Terakhir, saya ingin menyinggung tentang ending tanpa berusaha spoiler.
Menuju bagian akhir, dada saya bergemuruh, takut, ngeri tapi masih bisa menghela napas di ujung kalimat. Mungkin karena ini kali pertama saya membaca karya Tere Liye, jadi saya tidak tahu bagaimana gaya endingnya. Bisa saja kan, dia adalah penulis yang tega terhadap tokoh-tokohnya? 
Bagaimanapun saya tidak kecewa membaca Hujan ini. Walau merasa tertinggal karena baru membaca karya Tere Liye, saya tidak menyesal karena Hujan lah yang menjadi pertama bagi saya. Melalui Hujan, saya menjadi penasaran dengan karyanya yang lain. Jarang-jarang loh, ada penulis yang membuat saya kecewa sekaligus lega ketika membaca ending karyanya. 

  


Rabu, 22 Februari 2017

[Review] TYPO-Christian Simamora


Judul   : TYPO
Penulis : Christian Simamora
Editor : Alit Tisna Palupi
Designer Sampul : Dwi Anissa Anindhika
Penerbit : Twigora


Di saat usianya yang keempat belas tahun, Maisie Varma dijodohkan dengan Josh Mallick oleh kedua ayah mereka. Meskipun sama-sama tak suka dengan keputusan sepuhak itu, Mai dan Josh memilih untuk belajar beradaptasi dengan satu sama lain ketika membangun nyali untuk menentangnya.
Tapi kemudian, di malam pergantian tahun, Oma Josh yang baru mendengar tentang perjodohan itu langsung protes keras. Bukan itu saja, beliau memaksa parah ayah untuk membatalkan pertunangan malam itu juga. Semuanya pun kembali seperti semula, kecuali bagi Mai. Dia sungguh-sungguh tak menyangka, status tunangan Josh selama beberapa hari membuatnya jatuh cinta untk kali pertama.
Novel #jboyfriend kali ini merupakan kronologis cinta putri satu-satnya keluarga Varma. Tentang gelenyaryang membungkus perasaan Mai dalam bahagia, juga tentang hal-hal manis yang membuat pipinya sering merona merah.
Novel ini juga akan bercerita banyak tentang anak bungsu keluarga Mallick. Si mantan tunangan yang bertanggung jawab membuat Mai jatuh hati sekali lagi, juga yang mengingatkannya bahwa perasaan itu tak lebih dari sekadar typo. Kesalahan hati yang harus Mai koreksi.

Tanpa banyak mukadimah lagi, aku langsung ke poinnya, ya. Oke. Ehm. Ini adalah novel Bang Chris yang paliiiiiiing lama kubaca. Walau bacanya tidak hampir seminggu juga, sih, tapi dibandingkan dengan novelnya yang lain, TYPO memang lebih tebal dan lebih gendut. Hihihi....
Bercerita tentang Josh dan Mai yang dijodohkan oleh kedua orangtua mereka di usia remaja, sayang, pertunangan itu terpaksa dibatalkan ketika Oma Josh tidak sepaham dengan para orangtua. Rasa diam-diam suka yang perlahan muncul di hati Mai terpaksa gadis itu abaikan. Mai terpaksa mencabut benih asmara yang perlahan tumbuh dengan segera.
Sayang, tidak semua benih tercabut dengan sempurna. Hingga sisa benih perlahan tumbuh dan tampak subur ketika mereka kembali dipersatukan oleh proyek kerja sama ayah mereka.
Mai yang terlihat polos dan lugu justru menawarkan kesepakatan yang cukup nekat dan gila kepada Josh. Walau awalnya Josh menolak karena tidak ingin nantinya menyakiti Mai, cowok itu tetap tidak kuasa menerima suguhan Mai yang begitu menggoda. Akhirnya mereka sepakat untuk tidak saling menggunakan rasa selama kesepakatan mereka berlaku, jika salah satunya menggunakan rasa, mereka akan menganggap bahwa itu sekadar TYPO belaka.

Sama dengan novel sebelumnya, TYPO pun masih dalam seri #jboyfriend. Kali ini pilihan tokoh jatuh pada Josh Mallick dan Maisie Varma. Genrenya pun sama dengan seri #jboyfriend yang lain, yaitu murni romance.
Sepertinya di novel ini, Bang Chris kembali mengusung konsep cerita yang metro dengan tokoh-tokoh yang glamour, hanya saja kali ini TYPO menampilkan background konflik yang berbeda. Tidak sama dengan sebelumnya, Mai dan Josh justru bertemu di saat mereka masih remaja, ditunangankan pula. Jadi pada saat mereka bertemu di masa kini, dialog mereka pun terasa santai dan akrab.
Selama membaca novel Christian Simamora, aku menemukan beberapa kesamaan, salah satunya adalah penulis selalu memberi konflik batin semacam keragu-raguan perasaan oleh tokoh-tokohnya. Kali ini keraguan itu dimiliki oleh Josh yang memang bukan tipe cowok yang ingin berkomitmen. Josh tidak menyadari perasaan sesungguhnya kepada Mai sehingga Mai harus mengalami yang namanya patah hati.

“Pengakuan lo malam itu benar-benar menyakitkan, tapi gue bersyukur lo mengatakannya tanpa filter sama sekali. Karena hanya dengan itu gue bisa sadar. Lo sukses bikin gue menyadari apa yang gue inginkan sebenarnya. Dan pelajaran paling berharga lainnya adalah: cinta tak akan kunjung kau temukan kalau sejak awal memang tak pernah ada.”
“Mai, gue—”
“That’s okay, Josh.” Mai menepuk-nepuk lengan cowok itu. “semuanya sudah baik-baik saja kok. Nggak ada yang perlu lo khawatirkan.”
“Mai, tapi lo bilang soal typo—”
“Yes, about that. Mai terdiam untuk beberapa saat. “Gue jatuh cinta sama lo. Gue yang bodoh, gue yang salah.” (halaman 438)
Dah. Sampai di situ saja cuplikan dialog yang ingin aku bagi. Kalau kebanyakan, takutnya aku bisa spoiler. Hhehe....
Oke. Di antara novel-novel Bang Chris, TYPO memiliki quote paling banyak. Aku sampai punya kesempatan untuk berasa jadi Mai selama membaca novel ini. Maksudnya, kegemaran nempel-nempel post it itu loooohhh....
Uhm... kesimpulannya novel ini sama romantisnya dengan novel Bang Chris yang lain. Wanita banget! Bahasa yang pop membuat narasi-deskripsinya nggak bikin ngantuk. Kalau kamu menyukai gaya Bang Chris bercerita, kamu akan menyesal kalau melawatkan TYPO ini.
Sampai jumpa di review buku Bang Chris yang laiiiiinnnn....
Salam PUPUNEWE CIWIKEKE-nya Abang. J


 




[Review] Tiger on My Bed-Christian Simamora


Judul   : Tiger on My Bed
Penulis : Christian Simamora
Editor : Dini Saraswati
Designer Sampul : Dwi Anissa Anindhika
Penerbit : Twigora

“UNTUK MENARIK PERHATIAN LAWAN JENISNYA, HARIMAU BETINA BISA MERAUNG SAMPAI 69 KALI SELAMA 15 MENIT.”
Jai harus mengakui, Talita koum Vimana membuatnya penasaran. Dia duduk di pangkuan Jai, membuai dengan suara tawanya, dan bahkan tanpa ragu mengkritik kemampuannya merayu lawan jenis. Hebatnya lagi, semuanya terjadi bahkan sebelum Jai resmi berkenalan dengan Tal.
“SELAYAKNYA TARIAN , HARIMAU JANTAN DAN BETINA MELAKUKAN KONTAK FISIK SATU SAMA LAIN, DISERTAI SUARA RAUNGAN DAN GERAMAN.”
Jujur saja, alasan utama Tal mendekati Jai justru karena dia sama sekali bukan tipe idealnya. Dia dipilih karena alasan shallow; indah dilihat mata, asyik buat diajak make out. Jenis yang bisa dengan gampang ditinggalkan tanpa harus merasa bersalah.
“TAHUKAH KAMU, SETELAH PROSES KAWIN SELESAI, HARIMAU JANTAN SELALU MENINGGALKAN BETINANYA?”
Tiger arrangement, begitu keduanya menyebut hubungan mereka. Dan ketika salah satu pihak terpikir untuk berhenti, pihak lain tak boleh merasa keberatan. Jadi dan Tal menikmati sekali hubungan kasual ini. Tak ada tanggung jawab, tak ada penyesalan... sampai salah satu dari mereka jatuh cinta.
Selamat jatuh cinta.

Selama beralih ke penerbit Twigora, ini adalah novel kelima Bang Chris yang aku baca. Dan sama dengan novel-novel sebelumnya, aku tertarik membeli karena bagian blurb-nya yang memang menarik. Ya, walau aku yakin aku akan tetap membelinya sekalipun cover belakang novelnya kosong. Hahaha... ini Bang Chris loh, penulis yang sukses mewujudkan impian para cewek walau sekadar berwujud fiksi.
Berkisah tentang Talita a.k.a Tal yang patah hati akibat penghianatan tunangannya, berkat usulan Fika, salah satu sahabatnya, dia mencari rebound untuk membuat lukanya menghilang. Sayang sekali, cowok a.k.a Jai yang dijadikan rebound-nya justru membuatnya terlena sehingga memunculkan suatu perasaan yang tidak dipikirkan sebelumnya. Perasaan yang dengan bodohnya tidak ingin diakuinya.
Berbeda dengan Tal, sejak awal Jai memang tampak mempunyai indikasi yang berbeda dengannya. Cowok itu tidak pernah takut mengatakan ketertarikannya kepada Tal, walau tetap ragu melangkah lebih jauh karena perjanjian mereka dan traumanya di masa lalu. Ternyata laki-laki itu pun pernah mengalami yang namanya patah hati.
Selama membaca novel ini, aku tidak pernah berhenti gemas oleh karakter Tal. Benar-benar tidak mengerti dengan apa yang cewek ini inginkan. Kalau biasanya aku selalu simpati kepada tokoh cewek dalam karya-karya Bang Chris, di sini justru sebaliknya, aku lebih simpati dan berpihak kepada Jai. Saking gemasnya, aku baca novel ini sambil teriak-teriak sendiri, “bodoh banget nih cewek!”. Berkat Tal, quote populer yang entah dari mana sumbernya macam ‘cewek selalu benar’ jadi tidak ada apa-apanya. Tidak benar sama sekali! Well, jika memang Bang Chris ingin memberi kesan ‘menggemaskan’ kepada Talita, aku acungkan empat jempol kepadanya. Tercapai banget!
Bang Chris kembali menggunakan point of view tiga di karyanya kali ini, dan sama dengan novel sebelumnya, pemilihan sudut pandang pengarang tidak lantas membuat penceritaan karakter tokohnya jadi mati. Tokoh Tal sangat terasa (Aku sudah mengatakan kalau dia menggemaskan, bukan?), begitupula dengan Jai. Lengkap dengan segala aksesoris-aksesoris sebagai pendukung karakter yang terasa pas, mendukung penggambarannya semakin ngena’.
Gaya bahasa yang digunakan juga masih terasa lincah, nge-pop dan tidak kejur alias kaku. Licin banget kayak belut! Membaca karya-karyanya juga bikin aku banyak belajar. Ada aja hal baru yang aku dapatkan di setiap membaca novelnya. Risetnya itu loh, mancap! Hahaha.... Aku rasa gaya Bang Chris ini tidak ada duanya, dan itulah alasan kenapa aku masih setia jadi pembacanya hingga sekarang.
Ada hal yang mengejutkan yang aku dapatkan dalam novel ini, yaitu sedikit fakta tentang buaya.
“Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama sepuluh tahun, ditemukan fakta tujuh puluh persen buaya betina kembali lagi ke buaya jantan yang sama untuk bereproduksi. Dan itu konsisten terjadi dari tahun ke tahun.” (Halaman 276)
Lalu kalau faktanya seperti itu, filosofi seperti apa yang menyebabkan ‘buaya darat’ dijadikan konotasi tukang selingkuh? Hahaha.... mari kita cari bersama.
 Di antara puluhan dialog— atau ratusan? (Sori, aku nggak hitung)—di dalam buku ini, aku paling suka dialog di bawah ini:
“Gue masih nggak habis pikir, lo masih aja in denial kayak gitu.” Jai menggeleng sedih. “Tapi terserah. Gue akan bilang ini sekali aja: gue nggak akan meminta apalagi memohon. Tapi begitu lo berbalik dan keluar dari pintu itu, gue nggak akan pernah mengharapkan lo untuk bersama gue lagi.”
Mata Tal terbelalak. “gue nggak salah dengar, tadi itu... ancaman kan?”
“Lo juga nggak perlu bilang apa-apa selain kembali ke tempat tidur ini dan bertahan sama gue sampai esok pagi.”
“Seumur-umur baru kali ini gue dipaksa—”
“Gue nggak lagi maksain kehendak.” Sekali lagi, cowok itu menggeleng. “Gue hanya menolak patah hati untuk kedua kalinya karena orang yang sama.” (Halaman 371)
Sumpah, Jai itu COWOK banget! Cewek kayak Tal emang seharusnya digituin, bandel, sih! Kekekekeke....
Oke. Aku rasa ulasannya cukup sampai di sini. Aku nggak mau terjadi spoiler di antara kita. Jadi, dengan senang hati aku memberi bintang sebanyak lima pada buku ini. Yuhhuuu!!!
Sampai jumpa di review buku Bang Chris yang laiiiiinnnn....
Salam PUPUNEWE CIWIKEKE-nya Abang. J


  





Selasa, 21 Februari 2017

[Review] Meet Lame-Christian Simamora


Judul   : Meet Lame
Penulis : Christian Simamora
Editor : Prisca Primasari
Designer Sampul : Dwi Anissa Anindhika
Penerbit : Twigora

Dear all,
Saat ini, aku sedang terlibat perasaan dengan dua orang cowok sekaligus.
JANIEL
Bahkan sampai detik ini pun, Janiel masih belum ada tanda-tanda ngeh mengenai betapa patah hatinya aku karenanya. Yah, aku memang nggak ada rencana untuk memberi tahu sih—buat apa juga? Memangnya situasi bakal berubah? Memangnya Janiel punya perasaan terpendam juga padaku sehingga pernyataan cintaku itu mendorongnya untuk memutuskan Putri dan memacariku?

DANIEL
Di hari perpisahan itu, aku melakukan sesuatu yang percuma juga untuk aku sesali. Daniel Kelvin Vincensius—itu nama panjangnya—mencuri ciuman dan keperawananku pada hari yang sama. Meninggalkan Indonesia beberapa jam kemudian. Membiarkan aku bertanya-tanya tentang arti kebersamaan singkat itu selama bertahun-tahun... sampai akhirnya aku capek sendiri.

JANIEL atau DANIEL
Atau lebih baik nggak dua-duanya saja? Aku lagi nggak kepengen bermain-bermain dengan perasaan dan kebahagianku sendiri. Apalagi karena kamu dan aku sama-sama tahu: love hurts, love gives you pain.

You know what... FUCK LOVE! Maybe this is for the best. Sekian dan terima kasih.

Tertanda,

AKU YANG LAGI STRES SENDIRI


Berbicara mengenai karya Bang Chris, aku langsung ngebayangin tokoh-tokoh yang glamour dalam setting metropolitan. Penggunaan bahasa yang ngepop banget dan fleksibel. Ceritanya yang ‘cewek banget’ dan romantis pakai banget pula. Selama mengusung genre dewasa, ada beberapa yang nggak bisa lepas dari karyanya, yaitu cerita yang ditaburi unsur erotis, tapi Bang Chris tetap tidak pernah lupa kok memberi cap ‘NOVEL DEWASA’ di cover belakangnya. Jadi masih amanlah. Hehehe....
Dalam Meet Lame ini, aku menemukan perbedaan dari beberapa novel Bang Chris sebelumnya. Seingatku, selama aku membaca karya Bang Chris (kecuali Shit Happens yang memang belum aku baca), aku selalu menemukan penggunaan point of view tiga dalam menyampaikan cerita, namun di Meet Lame ini sendiri, cerita disampaikan dalam point of view dengan tokoh ‘Aku’ yang tidak diberi nama. Wah, aku sendiri membayangkan bagaimana tantangan seorang penulis yang tidak memberi nama kepada karakter utamanya hingga akhir.
Bercerita ‘Aku’ yang menyukai dua laki-laki sekaligus. Janiel yang menjadi cinta diam-diamnya, dan Daniel yang mencuri milik paling berharganya di masa lalu. Kemunculan kembali dua laki-laki yang nyaris bersamaan itu membuat ‘Aku’ kelabakan dengan perasaannya sendiri. ‘Aku’ menginginkan Janiel untuk membalas perasaannya, namun di sisi lain ‘Aku’ juga masih tidak dapat menghilangkan kenangan yang diciptakan Daniel untuknya. Kalau meminjam lagu Afgan, ‘Aku’ mengalami Cinta Dua Hati, jatuh di dua hati.
Selama membaca Meet Lame ini, aku juga nyaris dibuat plin-plan oleh tokoh Janiel dan Daniel. Janiel yang terkesan sebagai cowok baik-baik, cakep dan romantis menjadi idaman para cewek, sedangkan Daniel yang digambarkan brengsek di awal kemunculannya mendadak menjadi sosok yang ‘diinginkan’ karena imej bad boy-nya. Namun aku yakin, setiap pembaca memiliki selera yang beda soal cowok idaman. Jadi memilih antara Janiel dan Daniel tergantung selera pula.
Yang beda lagi dalam Meet Lame ini adalah pemilihan karakter cewek yang di luar kebiasaan penulis. Kali ini, entah karena alasan apa, penulis menggambarkan ‘Aku’ sebagai cewek yang curvy. Tidak seperti Cindy, Reina dan Kendra yang pastinya pembaca setia Bang Chris tahu memiliki pesona yang berbeda. Namun hal itu tidak menjadi halangan untuk aku membayangkan sosok yang berbeda pula. Meskipun Bang Chris menjadikan Denise Bidot sebagai ‘Aku’ pada fitur cast di wattpadnya, aku justru membayangkan sosok Nina Dobrev di saat season terakhirnya di serial The Vampire Diaries. Mungkin karena salah satu ilustrasi dalam novel ini menampilkan wajah ‘Aku’ mirip dengan Elena Gilbert, komplit dengan gaya ‘Aku’, Daniel dan Janiel yang seolah berjalan mengejar sesuatu yang persis sama dalam salah satu poster The Vampire Diaries. Hehehe... Ini menurut aku lho, jadi kalau rada ngawur, ya dimaklumi.
Uhm... secara keseluruhan, aku suka sama Meet Lame ini. Entah kenapa konflik di dalamnya membuat aku jadi melihat sosok-sosok karakternya yang begitu nyata. Aku bahkan bertanya sendiri, “Kalau aku punya masalah percintaan seperti ‘Aku’, aku bakal ngambil keputusan yang sama, nggak?”
Well, sampai di sini cuap-cuap aku. Aku memberi bintang sebanyak empat kepada novel ini. Bagaimana pun juga aku masih merasa ada beberapa yang nggak sesuai maunya aku (bukan berarti jelek lho, ya?). Ini kembali lagi ke masalah selera. Meski begitu, aku jamin novel ini wajib koleksi, karena sama dengan novelnya yang lain, Bang Chris sukses membuat aku tidak cukup sekadar membaca sekali. Aku akan membaca kali kedua, ketiga dan seterusnya.
Sampai jumpa di review buku Bang Chris yang laiiiiinnnn....
Salam PUPUNEWE CIWIKEKE-nya Abang. J



Senin, 13 Februari 2017

Review The Legend of  Blue Sea
Judul : The Legend of Blue Sea (Pooreun Badaui Junsul)
Genre : Romance, Melodrama, Fantasi, Komedi.
Jumlah Episode : 20 Episode
Stasiun TV : SBS
Sutradara : Jin Hyeok
Penulis Naskah : Park Ji Eun

Pemain :
1.   Jun Ji Hyun : Shim Cheong/ Se-Hwa
2.      Lee Min Ho : Heo Joon Jae/ Kim Dam Ryeong
3.      Lee Hee Joon : Jo Nam Doo/ Lord Yang
4.      Shin Won Ho : Tae Oh
5.      Sung Dong Il : Mae Dae Young
6.      Shin Hye Sun : Cha Shi Ah
7.      Shin Eun So : Shim Cheong muda
8.      Jin Young : Heo Joon Jae muda
9.      Moon So ri : Ahn Ji Joo
1.  Lee Ji Hoon : Heo Cha Hyun
1.  Kim Sung Ryung : cameo
1.  Krystal Jung : Cameo, dll.


Pertama kali membaca kabar bahwa Lee Min Ho akan comeback drama dan akan dipasangkan dengan Jun Ji Hyun, aku langsung mengira-ngira seberapa besar kualitas dorama ini. Terlebih Jun Ji Hyun adalah aktris yang tidak diragukan lagi kemampuannya, meskipun begitu, aku yang merupakan anak Minoz agak sedikit tidak rela dengan pair ini. Kok gini amat, ya, kalau Lee in Ho main drama? Dapatnya yang tua melulu (selain The Heirs) pasangannya. Hihihi. But, it’s okay! Aku mencoba melihat sisi positifnya. Jun Ji Hyun adalah aktris yang sudah menikah, dengan begitu kemungkinan gosip aneh di antara mereka jadi terminimalisir. Yuhhuu!

Meskipun aku adalah anak Minoz, aku tetap mencoba menjadi objektif dalam mengulas drama ini. Aku akan mengungkap semua kelebihan sekaligus kekurangan yang aku dapatkan selama menontonnya, walau mungkin tidak akan selengkap di saat aku mengulas buku. Hehe... harus aku akui, bahwa ini pertama kalinya aku mengulas dorama.

Oke, tanpa banyak mukadimah lagi, aku akan ke intinya.

Sebenarnya aku tidak tahu ingin memulai mengulas kisah ini dari mana, karena di drama ini menggunakan dua zaman yang berbeda, yaitu zaman di era Joseon dan di era modern.

Berawal dari Se Hwa, putri duyung yang terjebak oleh perangkap warga di era Joseon sehingga menyebabkan dia menjadi korban ketamakan Tuan Yang. Se Hwa diikat untuk menghasilkan air mata yang nantinya akan menjadi mutiara dan memenuhi keserakahan Tuan Yang. Pada saat Kim Dam Ryeong (Kepala daerah) berkunjung di wilayah Tuan Yang, Se Hwa meminta tolong kepadanya melalui telepati (suara dalam hati) yang entah bagaimana caranya bisa didengar oleh Kim Dam Ryeong, ternyata di masa lalu, pada saat mereka remaja, keduanya saling mengenal dan saling jatuh cinta. Di sinilah kisah bermula. Legenda yang tidak pernah lepas dengan masa depan.

Di era modern, mereka kembali bertemu. Kim Dam Ryeong  yang bereinkarnasi menjadi Heo Jon Jae menghabiskan masa liburannya di Spanyol dan bertemu Putri Duyung. Meski sempat terpisah, tapi di sinilah awal cinta sekaligus tragedi terjadi di era modern.

Selama menonton drama ini, aku begitu terpukau dengan sandiwara para pemain, namun di antara beberapa cast-nya, aku mengacungkan empat jempol kepada Jun Ji Hyun. Sumpah, dia begitu totalitas. Aku akan dibuat mewek ketika dia sedang mellow dan akan dibuat terpingkal-pingkal ketika dia sedang berlakon bodoh. Beragam karakter disikat habis dengan mudah. Aku bahkan heran sampai bertanya, “Ini orang nggak malu ya, berlakon seperti itu? Nggak malu kelihatan jelek?” Tapi sepertinya pertanyaanku ini hanyalah sebatas pertanyaan tanpa jawaban, karena berlakon apa pun, Jun Ji Hyun tetap kelihatan cantik. Mungkin jika dia tidur sambil ngorok sekali pun tetap cantik. Hehehe..

Selain itu, Lee Min Ho juga mampu mengimbangi Jun Ji Hyun. Sebenarnya sejak awal aku menunggu tampilan aktor ini, karena menurut kabar sebelum tayang, Lee Min Ho akan memerankan dua tokoh, yang mana ini adalah pertama kalinya. Dan sejauh aku menyaksikan sendiri, dia sangat menguasai perannya. Seolah karakter-karakter itu memanglah karakter aslinya di dunia nyata.

Di luar ketenaran aktor dan aktris di dalam drama ini, aku mencoba melihat dari sisi alur ceritanya. Berbeda dengan pendapat beberapa pihak yang mengatakan drama ini hanyalah ‘jual pemain’, justru aku melihat sebaliknya. Penulis naskah sukses menampilkan plot yang rapat, teratur dan terkonsep. Sejak dulu hingga sekarang, aku merasa membuat alur maju-mundur itu tidaklah mudah, sedikit celah saja akan membuat plot jadi kacau dan berantakan. Tapi Park Ji Eun mampu membuat cerita ini mudah dipahami, meski benang merahnya perlahan ditampilkan, bukan sekaligus.

Meski begitu, aku menemukan ending yang tidak sesuai dengan akspektasi aku. Sebagaimana kita tahu, Putri Duyung bukanlah manusia, sehingga sangat tidak logis jika dia mampu bertahan di darat, bahkan berketurunan di sana, namun sepertinya tidak di TLOBS ini. Di sini, putri duyung mampu melakukan itu, mampu melakukan apa yang manusia lakukan. Walau aku tidak menyukai ending drama Man From the Star (salah satu dorama yang mengusung genre yang sama), namun aku justru lebih sepakat dengan ending seperti itu dibandingkan ending TLOBS. Tapi lagi-lagi aku memaksa untuk melihat sisi lain, bahwa drama ini bergenre fantasi, jadi hal yang tidak logis sekalipun mampu diciptakan dengan sesuka hati. Hehehe....

Overall, aku suka sama drama ini. Drama ini adalah salah satu drama wajib koleksi. Bukan karena aku anak Minoz, ya? Percaya, sekali pun bukan Lee Min Ho yang memerankan drama ini, aku tetap akan menjadikannya drama wajik koleksi. J