Keterangan
Buku
Judul : Our Story
Penulis : Orizuka
Penyunting : Agatha Tristanti
Penata
Letak : Tedy Hanggara
Desain
Sampul : Teddy Hanggara
Foto : Chusnul
Khairuddin
Yasmine
harus kembali ke Indonesia ketika mendapat kabar bahwa ibunya mendapat
kecelakaan dan harus terbaring koma. Semenjak orangtuanya bercerai, dia memang
memilih untuk ikut ayahnya ke Amerika, namun kabar buruk yang menimpa ibunya
memaksanya untuk kembali dengan persetujuan ayahnya.
Karena
suatu kesalahan sopir dari kepercayaan ayahnya di Indonesia, Yasmine terpaksa
bersekolah di SMA Budi Bangsa. Padahal menurut perintah ayahnya, dia harus
disekolahkan di sekolah berstandar Internasional dengan fasilitas super lengkap
dan tentunya dengan uang masuk yang selangit.
Sebenarnya
Yasmine tidak terlalu memusingkan sekolah apa yang dipilihkan oleh ayahnya, toh
dia juga tidak menyukai kehidupan sekolahnya dulu saat di Amerika. Namun
melihat kondisi sekolahnya, yang jauh dari predikat Standar Internasional
(read: bangunan sekolah hanya satu lantai, coretan yang memenuhi temboknya,
tiang bendera di tengah lapangan gersang, dan papan nama sekolah terpasang
miring dan berkarat) membuat lututnya lemas.
Yasmine
pikir, kehidupan sekolahnya saat ini akan lebih baik dari sekolahnya dulu. Dia
salah besar. Nino, ketua geng di sekolah itu tidak berhenti mengusilinya sejak
di hari pertamanya sekolah, ditambah dengan image
sekolah mereka yang terkenal dengan TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yang berisi
oleh anak preman, pengacau, pembangkang, pembuli, dan pelacur. Mereka
menganggap sekolah tidak lebih baik dari tempat tongkrongan. Kecuali seseorang.
Ferris.
Perlahan
Yasmine sadar bahwa hilangnya semangat belajar teman-temannya bukan sepenuhnya
kemauan mereka. Ada beberapa faktor yang tidak bisa dipecahkan kecuali dengan
tekad kuat. Karena itulah dia sadar mengapa siswa seperti Ferris bisa tahan
banting dan tetap keras kepala ingin membantu teman-temannya, walau tidak
habis-habisnya Nino menyindirnya dengan masalah di masa lalu mereka.
“Pukul
aja, No. Kalau itu bisa bikin lo lega”
“Kalau
ada yang bisa bikin gue lega, itu adalah ngelihat lo menderita.”
“Gue
yang sekarang beda dari gue yang dulu, No.”
“Lo
sekarang lagi melakukan semacam apa, penebus dosa?”
Menurutku,
ini adalah buku pertama dari Orizuka yang remaja banget. Ceritanya nggak melulu
berisi romantisme ala ABG, namun juga berisi kehidupan nyata yang terjadi di
lingkungan remaja. Sebut saja bullying,
drugs, sex, tawuran, pelacuran dan
lain-lain yang akhir-akhir ini meresahkan banyak pihak, terutama orang tua dan
pemerintah.
Terdengar
klise. Memang. Tapi membacanya tidak akan membuatmu mengantuk layaknya membaca
koran harian, atau berdecak bosan seolah membaca headline berita online yang ingin merebut perhatianmu. Percaya!
Kalau kamu masih memiliki rasa simpati, kamu akan menyisihkan waktumu untuk
membaca kisah ini, dan kemudian buku ini akan membuatmu meringis ngeri karena
mengakui kebenaran di baliknya. Saya sebagai mantan anak SMA, yang sudah
berulang kali membacanya saja masih tertampar jika menemukan lagi dialog ini:
“Gue…
diminta bikin kunci jawaban pas UN nanti. Gue akan sebarin ke kalian. Jadi…
sekarang kalian gak usah susah-susah belajar lagi.”
“Cih.
Kita semua harus nyerahin nasib kelulusan kita sama lo, gitu? Kalo lo mendadak
sakit atau hilang ingatan, terus kita semua harus nggak lulus, gitu?”
“Bukan
gitu, gue—”
“Lo
ngeremehin kita ya? Lo ngeremehin kita, atau lo ngerasa dewa?”
Kasarnya,
siswa sebrengsek mereka saja—yang tidak bisa mendapatkan uang jajan dari
orangtuanya-yang tidak bisa mendapatkan fasilitas pengayaan dari sekolah-yang
tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari guru-guru—mau menolak bahkan
tersinggung karena ditawarkan jalan pintas ketika menghadapi UN nanti.
Sedangkan beberapa siswa di luar sana (termasuk saya) yang masih beruntung bisa
mendapat dukungan dari pihak sekolah apalagi orangtua, masih rada-rada malas
untuk ikut kelas sore, bimbingan tambahan di luar sekolah, dan justru melonjak
kegirangan jika dijanji kunci jawaban oleh teman-teman yang berotak encer.
Mereka
yang memiliki kekurangan dan keterbatasan mampu bangkit demi masa depan yang
diam-diam telah mereka impikan, sedangkan di luar sana, terdapat beberapa anak
dengan kelebihan materi orangtua dan fasilitas yang diberi tanpa diminta, namun
disia-siakan begitu saja.
Ya.
Pesan moral kisah ini begitu kuat, namun tidak menghilangkan selera pembaca
remaja yang pastinya ingin menjumpai kisah-kisah romantis di sana. Ayolah! Saya
(ekhem) masih tergolong remaja, jadi tentunya saya paham kisah apa yang
diinginkan pembaca remaja. Seperti beberapa dialog manis antara Yasmine dan
Nino berikut ini:
“Apa?
Gue menghancurkan image pangeran pujaan lo?”
“Gue…
cuma… Dia bukan pangeran pujaan gue,”
“Ganteng,
kaya, pinter… dia bukan pangeran pujaan lo? Gue percaya.”
“Lo
bisa bilang gue cewek aneh. Tapi… gue punya kecenderungan tertarik sama cowok
brengsek.”
Ahahahaaa….
Ekhem. Sumpah, pertama kali baca dialog ini, saya jadi malu-malu sendiri.
Mungkin karena kriteria cowok Yasmine mirip dengan kriteria saya. Entah kenapa,
cowok sebrengsek Nino lebih memikat dibandingkan dengan cowok bersifat superman
seperti Ferris. Dan saya merasa Yasmine sungguh beruntung bertemu dengan Nino,
karena di masa SMA, saya tidak mendapatkan cowok seperti itu. Uhm…. Oke.
Abaikan!
Jadi…
saya sangat merekomendasikan buku ini kepada seluruh remaja Indonesia untuk
dibaca. Kalau perlu dikoleksi. Walaupun di buku ini tidak akan kalian temukan
kisah asmara yang mengharu-biru, namun kalian akan mendapatkan gantinya berupa
motivasi dan kesadaran akan status kalian sebagai anak sekolah.