Judul : Dimi is Married
Penulis : Retni SB
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Desain
dan Ilustrasi cover : maryna_design@yahoo.com
Tahun
Terbit : 2010
Sinopsis
Walaupun belum lama mengenal Garda, Dimi yakin
perkawinannya dengan lelaki itu akan berjalan baik. Dan Garda memang tampil
layaknya suami idaman. Baik hati, penuh perhatian, keren, romantis, dan selalu
memenuhi segala kebutuhannya, lahir-batin. Padahal mereka berdua menikah karena
perjodohan cara kilat. Dimi merasa beruntung menjadi Cinderella abad ini.
Tapi kemunculan Donna yang tiba-tiba sungguh telah
menjungkirbalikkan harapan dan mimpi-mimpi Dimi. Ternyata model jelita itu
pacar Garda.
Dimi baru sadar, Garda tak pernah memperkenalkan
dirinya ke lingkungan lelaki itu. Garda juga tak pernah menuntut macam-macam
dari dirinya sebagai istri. Bahkan Garda tak pernah melarang aktivitas apa pun yang dilakukan Dimi. Dimi jadi berpikir: cintakah lelaki itu kepadanya?
Kalau Garda tak pernah bisa mencintai dirinya, lalu
untuk apa cowok itu menerima perjodohan yang ditawarkan orangtua masing-masing?
Toh dia tampan, kaya, sukses… sehingga dengan mudah mendapatkan perempuan mana
pun yang diinginkannya…
Rencana apa yang sebetulnya sedang dilakukan Garda?
Ini
adalah buku Retni SB yang pertama kali aku baca. Awalnya aku hanya iseng
mengambilnya dari rak di toko buku begitu melihat cover-nya yang cantik, namun
setelah membaca sinopsisnya, aku jadi ingin memilikinya. Aku membelinya walau
tidak yakin 100% novel ini menarik (biasanya aku jarang melirik penulis lain
sebelum membaca review karyanya terlebih dahulu).
Setelah
membaca halaman pertama, aku jadi yakin bahwa aku tidak salah membelinya.
Pemilihan kalimat dari Garda sejak di awal halaman sangat menarik, dan aku
memperkirakan halaman selanjutnya pun begitu. Bahasanya gurih, tidak memaksa
agar terkesan sastra, dan pastinya masih dijumpai kalimat-kalimat yang ringan
seperti di novel teenlit (maklum,
waktu itu seleraku lagi transisi dari novel novel remaja ke novel dewasa) pun
ketika memasuki sudut pandang dari Dimi. Bahasanya enteng tapi tetap cerdas dan
berkelas. Wah, makin suka sama novel ini.
Tokoh-tokohnya
modern dan tidak kolot. Meski tema yang diangkat sudah biasa (masalah
perjodohan), namun tetap dikemas dengan ‘wow’. Aku suka Dimi. Walau dia tidak
cantik (menurut Garda), tapi dia adalah perempuan yang kuat, tegar dan mandiri.
Dia tidak lantas merana sambil termewek-mewek karena mendapat suami sebrengsek
Garda. Di balik tubuhnya yang mungil, ternyata dia menyimpan mental sekuat
baja. Kepeduliannya terhadap lingkungan menjadi poin plus untuk ukuran
perempuan masa kini yag biasanya hanya peduli dengan seperangkat alat make-up.
Pokonya dia perempuan yang kesannya jauh dari perempian pasrah, terima dan
rela. Dialah wonder women asli
menurut versiku.
Lain
dengan Garda. Cowok maskulin dengan penampilan kece, ditunjang oleh wajah yang perfect justru tidak membuatku (sebagai
pembaca) mendamba. Sekedar info, aku biasanya dengan mudah akan jatuh hati
kepada tipe-tipe tokoh fiksi seperti ini, tapi Garda memang pengecualian. Garda
ini benar-benar brengsek dengan pola pikir laki-laki yang tidak pernah
kesusahan. Ya, karena di sni Garda memang pangeran dari kerajaan Hutamaraya
yang membuatnya tidak pernah melirik sisi lain dari kehidupan yang serba
glamour dan tentu saja, pacar yang glamour.
‘Ya
ampun semua pacarku yang cantik berkelas dan tidak memalukan untuk dipamerkan
ke teman-temanku saja masih kuanggap belum sempurna, apalagi yang model
penggemar Arjuna Wiwaha! (Sorry, aku bukan mengejek tradisi budaya. Tapi oom
Harry itu memang penggemar wayang kulit dan campursari. Jadi, buah tak akan
jatuh jauh dari pohonnya, kan? Ini hanya masalah selera, Man!)’ (Halaman
12)
Brengsek,
kan?
Namun
di sinilah menariknya kisah ini. Ada benturan karakter yang benar-benar berbeda
dari sepasang manusia. Garda yang selalu menganggap segala bisa beres dengan
materi dan Dimi yang tidak pernah menganggap materi adalah segalanya. Karakter
yang klop dan melengkapi.
Yang
membuatku semakin takjub, penulis tidak lupa menyelipkan berbagai informasi
dari keadaan lingkungan sekarang. Hutan yang semakin tandus, pemanasan global
yang semakin merdeka dan hewan langka yang terancam punah. Miris. Retni SB
sukses mengangkat pesan moral dan sosial dengan cara yang menggigit melalui
sentilan Dimi. Aku jadi cemas, takut, khawatir campur prihatin kepada bumi dan
segala penghuninya.
“Pemirsa…
saya sedang berdiri di area bekas hutan di Riau. Dahulu… sebelum menjadi
seperti yang kita saksikan sekarang, ini adalah hutan gambut yang memiliki
keanekaragaman hayati sangat kaya. Di sini pernah hidup berbagai pohon besar,
bunga-bunga liar nan cantik, beragam rumpun, jamur, sampai lumut… menjadi rumah
yang nyaman bagi harimau Sumatra atau Panthera Tigris Sumatrae yang terkenal
itu, rusa, kancil, ular dan sekian ribu spesies lainnya… yang banyak di
antaranya belum sempat kita pelajari. Dan kini apa yang telah dilakukan manusia
terhadapnya? Kita sedang melakukan pemunahan massal….”
(Halaman 277)
“Karena
hutan gambut di Riau ini sangat dalam dan kaya karbon, maka hanya dengan
menebang pohonnya saja… atau merusak tanahnya saja… sudah menimbulkan emisi
karbon yang luar biasa sehingga berdampak bagi perubahan iklim global.” (Halaman
277)
Ilustrasi
cover-nya membuat buku ini semakin menarik. Patut dijadikan koleksi. Setelah
membacanya, aku bahkan langsung nongkrong di google untuk mencari karya-karya
lain dari Retni SB. Hehehe…. Aku jadi gemas sama diri sendiri. Dari mana saja
aku selama ini? Kok bisa-bisanya aku melewatkan karya penulis sekece Mbak
Retni? Duh, katro, deh! Maka dari itu, untuk menghindari kekatroan, aku
berencana mengunjungi tempat penyewaan buku yang mungkin memiliki buku-buku
Mbak Retni yang sudah langka. Hahaha….
Mbak
Retni, aku ikut gabung jadi big fan-mu! Lima bintang untuk karyamu ini!