Minggu, 09 September 2012

[Review] Dimi is Married-Retni SB



Judul   : Dimi is Married
Penulis : Retni SB
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Desain dan Ilustrasi cover : maryna_design@yahoo.com
Tahun Terbit : 2010
Jumlah halaman : 384 halaman



Sinopsis
Walaupun belum lama mengenal Garda, Dimi yakin perkawinannya dengan lelaki itu akan berjalan baik. Dan Garda memang tampil layaknya suami idaman. Baik hati, penuh perhatian, keren, romantis, dan selalu memenuhi segala kebutuhannya, lahir-batin. Padahal mereka berdua menikah karena perjodohan cara kilat. Dimi merasa beruntung menjadi Cinderella abad ini.

Tapi kemunculan Donna yang tiba-tiba sungguh telah menjungkirbalikkan harapan dan mimpi-mimpi Dimi. Ternyata model jelita itu pacar Garda.

Dimi baru sadar, Garda tak pernah memperkenalkan dirinya ke lingkungan lelaki itu. Garda juga tak pernah menuntut macam-macam dari dirinya sebagai istri. Bahkan Garda tak pernah melarang aktivitas apa pun yang dilakukan Dimi. Dimi jadi berpikir: cintakah lelaki itu kepadanya?

Kalau Garda tak pernah bisa mencintai dirinya, lalu untuk apa cowok itu menerima perjodohan yang ditawarkan orangtua masing-masing? Toh dia tampan, kaya, sukses… sehingga dengan mudah mendapatkan perempuan mana pun yang diinginkannya…
Rencana apa yang sebetulnya sedang dilakukan Garda?




Ini adalah buku Retni SB yang pertama kali aku baca. Awalnya aku hanya iseng mengambilnya dari rak di toko buku begitu melihat cover-nya yang cantik, namun setelah membaca sinopsisnya, aku jadi ingin memilikinya. Aku membelinya walau tidak yakin 100% novel ini menarik (biasanya aku jarang melirik penulis lain sebelum membaca review karyanya terlebih dahulu).
Setelah membaca halaman pertama, aku jadi yakin bahwa aku tidak salah membelinya. Pemilihan kalimat dari Garda sejak di awal halaman sangat menarik, dan aku memperkirakan halaman selanjutnya pun begitu. Bahasanya gurih, tidak memaksa agar terkesan sastra, dan pastinya masih dijumpai kalimat-kalimat yang ringan seperti di novel teenlit (maklum, waktu itu seleraku lagi transisi dari novel novel remaja ke novel dewasa) pun ketika memasuki sudut pandang dari Dimi. Bahasanya enteng tapi tetap cerdas dan berkelas. Wah, makin suka sama novel ini.
Tokoh-tokohnya modern dan tidak kolot. Meski tema yang diangkat sudah biasa (masalah perjodohan), namun tetap dikemas dengan ‘wow’. Aku suka Dimi. Walau dia tidak cantik (menurut Garda), tapi dia adalah perempuan yang kuat, tegar dan mandiri. Dia tidak lantas merana sambil termewek-mewek karena mendapat suami sebrengsek Garda. Di balik tubuhnya yang mungil, ternyata dia menyimpan mental sekuat baja. Kepeduliannya terhadap lingkungan menjadi poin plus untuk ukuran perempuan masa kini yag biasanya hanya peduli dengan seperangkat alat make-up. Pokonya dia perempuan yang kesannya jauh dari perempian pasrah, terima dan rela. Dialah wonder women asli menurut versiku.
Lain dengan Garda. Cowok maskulin dengan penampilan kece, ditunjang oleh wajah yang perfect justru tidak membuatku (sebagai pembaca) mendamba. Sekedar info, aku biasanya dengan mudah akan jatuh hati kepada tipe-tipe tokoh fiksi seperti ini, tapi Garda memang pengecualian. Garda ini benar-benar brengsek dengan pola pikir laki-laki yang tidak pernah kesusahan. Ya, karena di sni Garda memang pangeran dari kerajaan Hutamaraya yang membuatnya tidak pernah melirik sisi lain dari kehidupan yang serba glamour dan tentu saja, pacar yang glamour.

‘Ya ampun semua pacarku yang cantik berkelas dan tidak memalukan untuk dipamerkan ke teman-temanku saja masih kuanggap belum sempurna, apalagi yang model penggemar Arjuna Wiwaha! (Sorry, aku bukan mengejek tradisi budaya. Tapi oom Harry itu memang penggemar wayang kulit dan campursari. Jadi, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya, kan? Ini hanya masalah selera, Man!)’ (Halaman 12)

Brengsek, kan?
Namun di sinilah menariknya kisah ini. Ada benturan karakter yang benar-benar berbeda dari sepasang manusia. Garda yang selalu menganggap segala bisa beres dengan materi dan Dimi yang tidak pernah menganggap materi adalah segalanya. Karakter yang klop dan melengkapi.
Yang membuatku semakin takjub, penulis tidak lupa menyelipkan berbagai informasi dari keadaan lingkungan sekarang. Hutan yang semakin tandus, pemanasan global yang semakin merdeka dan hewan langka yang terancam punah. Miris. Retni SB sukses mengangkat pesan moral dan sosial dengan cara yang menggigit melalui sentilan Dimi. Aku jadi cemas, takut, khawatir campur prihatin kepada bumi dan segala penghuninya.

“Pemirsa… saya sedang berdiri di area bekas hutan di Riau. Dahulu… sebelum menjadi seperti yang kita saksikan sekarang, ini adalah hutan gambut yang memiliki keanekaragaman hayati sangat kaya. Di sini pernah hidup berbagai pohon besar, bunga-bunga liar nan cantik, beragam rumpun, jamur, sampai lumut… menjadi rumah yang nyaman bagi harimau Sumatra atau Panthera Tigris Sumatrae yang terkenal itu, rusa, kancil, ular dan sekian ribu spesies lainnya… yang banyak di antaranya belum sempat kita pelajari. Dan kini apa yang telah dilakukan manusia terhadapnya? Kita sedang melakukan pemunahan massal….” (Halaman 277)

“Karena hutan gambut di Riau ini sangat dalam dan kaya karbon, maka hanya dengan menebang pohonnya saja… atau merusak tanahnya saja… sudah menimbulkan emisi karbon yang luar biasa sehingga berdampak bagi perubahan iklim global.” (Halaman 277)

Ilustrasi cover-nya membuat buku ini semakin menarik. Patut dijadikan koleksi. Setelah membacanya, aku bahkan langsung nongkrong di google untuk mencari karya-karya lain dari Retni SB. Hehehe…. Aku jadi gemas sama diri sendiri. Dari mana saja aku selama ini? Kok bisa-bisanya aku melewatkan karya penulis sekece Mbak Retni? Duh, katro, deh! Maka dari itu, untuk menghindari kekatroan, aku berencana mengunjungi tempat penyewaan buku yang mungkin memiliki buku-buku Mbak Retni yang sudah langka. Hahaha….
Mbak Retni, aku ikut gabung jadi big fan-mu! Lima bintang untuk karyamu ini!



Kamis, 30 Agustus 2012

[Review] Cinta Paket Hemat-Retni SB



Judul   : Cinta Paket Hemat
Penulis : Retni SB
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Desain dan Ilustrasi cover : Kitty Felicia Ramadhani
Tahun Terbit : 2007
Jumlah halaman : 280 halaman

Sinopsis
Wajah lumayan, karier ada, dukungan keluarga tak pernah kurang, punya teman se-gang yang asyik, bisa ketawa kapan saja, dan… statusnya buka jomblo. Itulah Pipit. Semua itu cukup jadi modalnya untuk bahagia, kan? Memang.
Tapi, sejak dia mendadak ketiban rezeki jadi ibu bagi Lio, bocah laki-laki lima tahun, hidupnya berubah 180 derajat! Putus dengan pacar, tenaga dan emosi terkuras ke sana-sini, pekerjaan kacau-balau – bahkan sampe dipecat – teman-teman menjauh…. Aduh! Semua berantakan!
Apa yang bisa membuat hidupnya kembali cerah seperti dulu?
Dokter yang memeriksanya menyarankan supaya dia segera punya pacar. Ha! Mana ada sih cowok yang mau menerima dia lengkap satu paket dengan Lio?
Bahkan Pak Sapta, yang dewasa dan mapan, yang mampu melimpahinya dengan perhatian dan hadiah serbasempurna, tak ingin keasyikan dengan Pipit ditengahi Lio….
Kebalikan dari Aries. Ah, cowok sinting itu malah mampu membuat Lio menjadi tenang. Tapi sebelnya, cowok itu hobi benar adu mulut… mulutnya tak pernah berhenti menyela dan berkomentar…



Well, akhirnya aku jadi tahu, kenapa aku bisa setia dengan karya Retni SB, padahal tema yang diangkat sih tidak cetar membahana (pinjam jargon Syahrini), tapi karya-karyanya selalu kutunggu. Mungkin karena selalu diselipkan petualangan-petualangan hidup yang selalu membuatku tidak sabar. “Kira-kira kali ini bagian mana lagi dari kisah ini yang akan menyentil?” begitulah pikiranku di setiap menatap pertama cover bukunya.
Kita mulai dari Pipit. Si gadis manis dan centil ini sepertinya harus melalui transisi karakter yag mendadak ketika ketiban rezeki berupa bocah autis, ponakannya yang bernama Lio. Dia yang dulunya periang, ceria, ceriwis, dan gaul harus berubah menjadi seorang Mama yang telaten, sigap dan sabar. Rasa duka yang membekas karena kepergian dua orang yang disayanginya berakibat ke kehidupan kariernya. Dia dipecat karena dianggap kacau dan sudah tidak becus lagi. kemelut yang beruntun menimpanya sukses membuatnya berubah menjadi cewek galak, jutek dan emosian. Syukurlah dia masih memiliki Aries, Om-nya Lio yang biasanya dia panggil monyet.
Aries. Lelaki pemburu berita yang slengekan, berpenampilan cuek namun memiliki kepedulian tinggu justru memiliki respon yang berbeda dengan Pipit jika menyangkut Lio. Cowok itu mampu bersikap santai dan mengambil hati Lio dengan mudah, walau intensitas kebersamaannya dengan Lio terbilang sedikit. Aries tipe cowok yang bertanggungjawab walau Pipit tidak yakin cowok itu akan bisa melengkapi paket kehidupannya bersama Lio semenjak insiden penolakan cintanya.
Kisah ini menceritakan kehidupan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus. Melalui kisah ini, bisa kita pahami bahwa penderita Autis bukanlah masalah enteng. Anak Autis aka menguras tenaga, pikiran, waktu dan tentu saja biaya yang mahal. Tapi hal itu tidak lantas mereka harus diperlakukan berbeda dengan anak lainnya. Hanya saja memang perlu perhatian ekstra yang tidak setengah-setengah. Dan hanya orangtua istimewa yang sanggup melalui itu semua. Itulah yag sedang diperjuangkan oleh Pipit dan Aries di kisah ini. Menjadi orangtua istimewa untuk anak istimewa.
Hm… kurasa buku ini bukan sekedar buku biasa, karena buku ini disajikan beberapa motivasi yang implisit maupun eksplisit untuk orangtua penderita Autis. Walau begitu isinya tidak akan membuat pembaca jadi bosan karena tetap dibumbuhi kisah asmara di sana-sini. Cocoklah dibaca dari berbagai kalangan, tapi khusus remaja, aku tidak menyarankan buku ini untuk kalian baca, karena… di dalamnya terdapat beberapa bagian yang belum sepantasnya kalian baca. Hehehe….
Seperti bukunya yang lain, aku juga mendapatkan hal istimewa di kisah ini. Yaitu pada saat petualangan Pipit bersama Aries di goa yang terletak di Gunung Kidul, DIY. Aku seolah ikut larut dalam perjalanan magis mereka. Sampai di sini aku bertanya-tanya, apakah aku termasuk manusia pongah di kehidupan yang terang benderang ini? Apakah aku masih bisa merasakan keceriaan, kepuasan, kebahagiaan dan beragam rasa jika aku hidup tanpa cahaya? Hanya bisa meraba dan mengira.
Ugh! Gila! Mbak Retni lagi-lagi menyentil melalui buku ini. T-O-P-B-G-T, deh!
Untuk kisah ini, aku kasih bintang sebanyak empat!