Selasa, 08 November 2016

Review : Istanbul-Retni SB

Judul : Istanbul
Penulis : Retni SB
Penerbit : Grasindo
Desain Sampul : Teguh
Tahun Terbit : 2016
Jumlah halaman : 244 Halaman
Harga Buku : Rp.76.000,-



Sinopsis

Hanis telah jatuh cinta dengan Istanbul sejak sebelum mengunjunginya. Bahkan, Hanis menjadikan Istanbul sebagai tempat honeymoon-nya dengan Edhu, tunangannya. Namun, rencana pernikahan Hanis dan Edhu batal hanya satu hari sebelum hari H. Istanbul pun menjadi ingatan tentang luka.

Akan tetapi, Hanis tetap mengunjungi Istanbul bersama adik dan sahabatnya. Ia ingin menghadapi langsung luka hatinya. Ternyata Istanbul buka hanya tentang luka. Ketika di sana Hanis menemukan banyak hal, kisah-kisah, dan juga sebuah nama. Garu.

Oke. Tanpa banyak basa-basi, saya langsung saja tancap gas menilai buku ini. Ehm… dari fisik, menurut saya buku ini agak beda dari buku Mbak Retni yang lain. Biasanya, ilustrasi sampul depan buku Mbak Retni itu lucu-lucu, namun kali ini nampak ‘berat’. Didominasi oleh warna kuning dengan foto Blue Mosque (semoga saya tidak sok tahu) sebagai background judulnya, dan tidak hanya itu, kali ini bukunya juga dilengkapi oleh daftar isi hingga membuat kesan serius buku ini semakin bertambah.

Eh, tapi yang membuat saya happy lagi dan seolah mendapat Retni SB kembali yaitu pada saat mulai membaca bab pertama. Ciri tulisannya tetap konsisten, tetap khas. Hehe… langsung tidak sabar baca halaman berikutnya.

Dari sinopsisnya saja, kita sudah tahu bahwa kisah kali ini berkisar tentang patah hati. Saya tidak tahu, apakah saya yang berlebihan atau memang benar adanya kalau emosi saya diaduk-aduk oleh kisah ini. Karakter Edhu benar-benar membuat saya jadi kehilangan sopan santun.

Sepanjang membaca bagian-bagian awal, otak saya tidak berhenti mengumpat kata-kata kasar. Serasa saya ingin mematahkan semua bagian tubuhnya, mencincangnya, lalu memblendernya. Langkah terakhir, akan saya jadikan jus untuk disumbangkan ke Taman Safari. Entah hewan apa pun yang bersedia meminumnya. Hahaha… Maaf, kalimat saya agak keras. Ini karena cowok sepengecut Edhu memang berpotensi membuat darah mendidih dalam sekejap. Antagonis sejati.

Tinggalkan Edhu! Kembali ke poin utama. Istanbul. Istanbul adalah tempat Hanis dan Garu bertemu. Di sini pula tunas-tunas asmara tumbuh di antara mereka. Cukup singkat. Tapi saya lebih menyukai proses munculnya asmara pasangan ini dibandingkan dengan pasangan Rakho-Titu (Mencarimu) yang juga saling tertarik saat berkunjung di negara asing. Mungkin karena pribadi Garu yang rada sinis dan tidak terburu-buru, jadi kesannya lebih alami, sedangkan Hanis tidak terkesan centil dan gampangan menerima perhatian Garu. Dia membiarkan perasaanya mengalir bagai air. Oh, iya, pasangan ini mengingatkan saya kepada Jodik-Tita (My Partner). Garu yang sinis dan tajam seperti Jodik, dan Hanis yang pemberontak sekaligus manis mirip dengan Tita.

Sejauh ini, dari semua buku Mbak Retni (total sembilan buku) yang saya baca, saya selalu menemukan kesan penokohan yang tidak didetailkan dari segi fisik, beliau lebih memilih merincikan dari segi karakternya. Namun anehnya, tokoh-tokohnya tetap terasa nyata, dan justru membuat saya (pembaca) suka-suka menentukan dan memilih wajah mereka seperti apa. Hal inilah salah satu alasan kenapa saya tetap setia membeli karyanya. Hahaha….

Gaya bahasa tetap ringan. Santai tapi tidak semaunya. Tidak formal tapi tetap asyik. Garang tapi menarik. Intinya buku ini tetap wajib baca seperti bukunya yang lain. Apalagi bagi orang yang sedang sakit hati. Wah! Kamu bisa banyak belajar dari ketegaran Hanis.
Semua sakit, benci, malu, aib memang tidak bisa lepas dari kehidupan itu sendiri. Ayolah! Hidup itu tidak melulu bertemakan romansa, asmara, dan rasa yang berwarna merah muda, tapi sesekali warna hitam yang pekat dan gelap harus ikut menyempil agar kehidupan tidak berjalan monoton, tapi bervariasi dengan banyak warna.

Sebagai penutup, saya akan membocorkan beberapa kutipan favorit di buku ini. Dimulai dari kalimat Hanis yang membuat saya menggumam, ‘oooohhh…’ seperti di bawah ini,

“Patah hati itu kita terlara-lara karena nggak bisa lanjut berhubungan dengannya, rasanya pengin balikan lagi. Sedangkan sakit hati… ini soal luka harga diri… nggak pengin lagi berdekatan dengan orang yang menyebabkan luka. Kapok atuh!” (Halaman 68)

 Sampai dialog Hanis-Garu yang membuat saya berseru ‘Nah, kan?!’ seperti berikut ini,

“Aku juga suka buku, Gar. Tapi ya… buku-buku fiksi yang bahasanya nggak berat-berat amat. Aku pusing kalau baca yang susah-susah,” aku Hanis sambil terkekeh.

“Lho, itu kan buka kesalahan. Itu hanya soal selera. Yang salah itu, kalau ada pihak yang bisa melarang dan memusnahkan buku hanya karena nggak sesuai dengan seleranya, dengan dalih ancaman terhadap ideologi….” (Halaman 144)

Benar. Nggak perlu maksa diri baca buku-buku berat dengan resiko mabuk karena gaya bahasa yang jungkat-jungkit, yang bolak-balik dan akrobatik hanya karena level baca ingin dibilangi level sastra. Nggak perlu minder. Itu hanya soal selera, dan yang namanya selera, ya, nggak bisa dipaksa. 