Selasa, 08 November 2016

Review : Istanbul-Retni SB

Judul : Istanbul
Penulis : Retni SB
Penerbit : Grasindo
Desain Sampul : Teguh
Tahun Terbit : 2016
Jumlah halaman : 244 Halaman
Harga Buku : Rp.76.000,-



Sinopsis

Hanis telah jatuh cinta dengan Istanbul sejak sebelum mengunjunginya. Bahkan, Hanis menjadikan Istanbul sebagai tempat honeymoon-nya dengan Edhu, tunangannya. Namun, rencana pernikahan Hanis dan Edhu batal hanya satu hari sebelum hari H. Istanbul pun menjadi ingatan tentang luka.

Akan tetapi, Hanis tetap mengunjungi Istanbul bersama adik dan sahabatnya. Ia ingin menghadapi langsung luka hatinya. Ternyata Istanbul buka hanya tentang luka. Ketika di sana Hanis menemukan banyak hal, kisah-kisah, dan juga sebuah nama. Garu.

Oke. Tanpa banyak basa-basi, saya langsung saja tancap gas menilai buku ini. Ehm… dari fisik, menurut saya buku ini agak beda dari buku Mbak Retni yang lain. Biasanya, ilustrasi sampul depan buku Mbak Retni itu lucu-lucu, namun kali ini nampak ‘berat’. Didominasi oleh warna kuning dengan foto Blue Mosque (semoga saya tidak sok tahu) sebagai background judulnya, dan tidak hanya itu, kali ini bukunya juga dilengkapi oleh daftar isi hingga membuat kesan serius buku ini semakin bertambah.

Eh, tapi yang membuat saya happy lagi dan seolah mendapat Retni SB kembali yaitu pada saat mulai membaca bab pertama. Ciri tulisannya tetap konsisten, tetap khas. Hehe… langsung tidak sabar baca halaman berikutnya.

Dari sinopsisnya saja, kita sudah tahu bahwa kisah kali ini berkisar tentang patah hati. Saya tidak tahu, apakah saya yang berlebihan atau memang benar adanya kalau emosi saya diaduk-aduk oleh kisah ini. Karakter Edhu benar-benar membuat saya jadi kehilangan sopan santun.

Sepanjang membaca bagian-bagian awal, otak saya tidak berhenti mengumpat kata-kata kasar. Serasa saya ingin mematahkan semua bagian tubuhnya, mencincangnya, lalu memblendernya. Langkah terakhir, akan saya jadikan jus untuk disumbangkan ke Taman Safari. Entah hewan apa pun yang bersedia meminumnya. Hahaha… Maaf, kalimat saya agak keras. Ini karena cowok sepengecut Edhu memang berpotensi membuat darah mendidih dalam sekejap. Antagonis sejati.

Tinggalkan Edhu! Kembali ke poin utama. Istanbul. Istanbul adalah tempat Hanis dan Garu bertemu. Di sini pula tunas-tunas asmara tumbuh di antara mereka. Cukup singkat. Tapi saya lebih menyukai proses munculnya asmara pasangan ini dibandingkan dengan pasangan Rakho-Titu (Mencarimu) yang juga saling tertarik saat berkunjung di negara asing. Mungkin karena pribadi Garu yang rada sinis dan tidak terburu-buru, jadi kesannya lebih alami, sedangkan Hanis tidak terkesan centil dan gampangan menerima perhatian Garu. Dia membiarkan perasaanya mengalir bagai air. Oh, iya, pasangan ini mengingatkan saya kepada Jodik-Tita (My Partner). Garu yang sinis dan tajam seperti Jodik, dan Hanis yang pemberontak sekaligus manis mirip dengan Tita.

Sejauh ini, dari semua buku Mbak Retni (total sembilan buku) yang saya baca, saya selalu menemukan kesan penokohan yang tidak didetailkan dari segi fisik, beliau lebih memilih merincikan dari segi karakternya. Namun anehnya, tokoh-tokohnya tetap terasa nyata, dan justru membuat saya (pembaca) suka-suka menentukan dan memilih wajah mereka seperti apa. Hal inilah salah satu alasan kenapa saya tetap setia membeli karyanya. Hahaha….

Gaya bahasa tetap ringan. Santai tapi tidak semaunya. Tidak formal tapi tetap asyik. Garang tapi menarik. Intinya buku ini tetap wajib baca seperti bukunya yang lain. Apalagi bagi orang yang sedang sakit hati. Wah! Kamu bisa banyak belajar dari ketegaran Hanis.
Semua sakit, benci, malu, aib memang tidak bisa lepas dari kehidupan itu sendiri. Ayolah! Hidup itu tidak melulu bertemakan romansa, asmara, dan rasa yang berwarna merah muda, tapi sesekali warna hitam yang pekat dan gelap harus ikut menyempil agar kehidupan tidak berjalan monoton, tapi bervariasi dengan banyak warna.

Sebagai penutup, saya akan membocorkan beberapa kutipan favorit di buku ini. Dimulai dari kalimat Hanis yang membuat saya menggumam, ‘oooohhh…’ seperti di bawah ini,

“Patah hati itu kita terlara-lara karena nggak bisa lanjut berhubungan dengannya, rasanya pengin balikan lagi. Sedangkan sakit hati… ini soal luka harga diri… nggak pengin lagi berdekatan dengan orang yang menyebabkan luka. Kapok atuh!” (Halaman 68)

 Sampai dialog Hanis-Garu yang membuat saya berseru ‘Nah, kan?!’ seperti berikut ini,

“Aku juga suka buku, Gar. Tapi ya… buku-buku fiksi yang bahasanya nggak berat-berat amat. Aku pusing kalau baca yang susah-susah,” aku Hanis sambil terkekeh.

“Lho, itu kan buka kesalahan. Itu hanya soal selera. Yang salah itu, kalau ada pihak yang bisa melarang dan memusnahkan buku hanya karena nggak sesuai dengan seleranya, dengan dalih ancaman terhadap ideologi….” (Halaman 144)

Benar. Nggak perlu maksa diri baca buku-buku berat dengan resiko mabuk karena gaya bahasa yang jungkat-jungkit, yang bolak-balik dan akrobatik hanya karena level baca ingin dibilangi level sastra. Nggak perlu minder. Itu hanya soal selera, dan yang namanya selera, ya, nggak bisa dipaksa. 

Selasa, 30 Agustus 2016

[Review] Me & My Prince Charming-Orizuka









Sinopsis:
Andromeda Arastya adalah cowok yang baru saja dinobatkan sebagai The Most Wanted Male di sekolahku. Selain superimut, dia juga keren, jago main basket, populer; pokoknya segalanya yang membuatnya berhak atas titel itu.
Lalu, suatu hari, keajaiban terjadi. Aku, Cherry Danisha, berhasil pacaran dengannya!
Kupikir aku beruntung, tapi nyatanya, pacarku itu adalah cowok yang sama sekali tidak romantis. Dia tidak pernah mau berduaan denganku. Dia bahkan tidak pernah duduk denganku di kantin!
Karenanya, kabar kalau aku pacaran dengannya dianggap akal-akalanku belaka. Tidak ada seorang pun yang percaya kalau kami berpacaran.
Aku pun jadi bingung. Sebenarnya, bagaimana perasaannya terhadapku?
Apa yang harus kulakukan untuk mengetahuinya?

   Buku ini merupakan buku debut dari Orizuka yang berhasil menjuarai sayembara mengarang novel remaja yang diselenggarakan oleh Puspaswara di tahun 2005. Cover di atas adalah cover baru setelah pembacanya meminta untuk dirilis ulang, sedangkan cover awalnya adalah di bawah ini.



“Gila, hari ini mendung banget, ya?”
“….”
“Kayaknya bakalan ujan gede, nih,”
“….”
“Lo kenapa, sih? Sakit gigi?”

Sumpah! Kalau saya yang jadi Cherry Danisha, saya sudah ambil seember air comberan lalu nyiramin ke wajahnya Andros…. Eh, nggak, ding. Nanti imutnya hilang.
Oke, kalau saya yang jadi Cherry Danisha, sudah saya balas  Andros dengan kalimat “Iya. Gue sakit gigi. Sakit gigi dengerin lo ngebahas hal yang sangat amat nggak penting banget sama sekali kepada gue yang ngomong-ngomong adalah cewek lo, bukan salah satu pakar dari Badan Ahli Geometri dan Geofisika.”
Hahahah…, emang parah, nih, Andros. Wajar jika cewek sesederhana Cherry jadi frustasi sebagai pacarnya. Sudah tidak peka, cuek, tidak romantis pula.
Cherry yang merupakan cewek yang biasa saja alias nggak cantik menurut teman sekolahnya (kecuali Maya, sahabat sejatinya) terpaksa harus menerima kemarahan Alissa Cs., karena dianggap tidak pantas menjadi pacar Andros. Ditambah kedatangan Namie sebagai mantan pacar Andros di kehidupannya, membuat kegalauannya berada di ambang batas. 

“Tapi Dit, Namie sekarang udah balik, Andros pasti lebih milih Namie daripada gue…”

Well, yang bikin suka novel ini adalah kisahnya benar-benar full romance. Konfliknya ringan, yaitu di kisah percintaan remaja saja. Jadi cocok banget dibaca ketika lagi jatuh bangun—eh, maksudnya, jatuh cinta. Hehehe. Apalagi gaya tulisan khas Orizuka yang kece banget, sip lah buat dibaca berkali-kali, makanya kuduk dikoleksi.
Sebenarnya nasib Cherry di sini hampir sama dengan nasib Daza (tokoh cewek di ‘Meet the Sennas’ karya Orizuka juga), apalagi karakternya yang tidak percaya diri, konyol dan lemah kepada cowok yang disukainya. Cowoknya pun sama. Sama-sama suka menarik ulur harapan. Eaaaa…. Tapi justru itu mereka emang cocoknya sama cewek seperti Cherry. Walaupun lemah, tapi mereka tidak akan putus asa. Dan di situlah sisi menariknya bagi cowok seperti Andros.
Saya suka banget sama novel ini. Terutama sama tokoh-tokohnya. Cherry yang lemah tapi tulus, Andros yang kaku tapi imut, Adit yang bodoh tapi diam-diam menyayangi Cherry, dan Maya yang cool dan juga tough. Satu-satunya tokoh yang nggak saya suka di sini adalah Namie. Ya… bukan salah Namie, sih, tapi emang udah kayak gitu takdirnya dibuat sama author-nya. Hehehe.
Sampulnya pas, cocok banget sama isinya, walau di dalamnya saya masih nemuin typo. Tapi di luar dari itu, novel ini cocok banget buat remaja. Nggak perlu pakai sensor, deh, dijamin!
Akhirnya tiba ke penilaian. Karena novel ini memang buat remaja, jadi aku kasih bintang sebanyak… empat!

Penulis                            : Orizuka
Penyunting                     : Ken Kinasih
Perancang Sampul          : Zariyal
Penata Letak                  : Vidia Cahyani
Penerbit                          : Puspaswara
  

[Review] His Wedding Organizer-Retni SB



Judul   : His Wedding Organizer
Penulis : Retni SB
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Desain dan Ilustrasi cover : Kitty Felicia Ramadhani
Tahun Terbit : 2008
Jumlah halaman : 272 halaman


Sinopsis
Mau tahu tentang ketololankau yang paling memalukan? Aku pernah berselingkuh. Dengan lelaki yang pernah menjadi pacarku, sekaligus yang pernah memberiku luka karena dia menikah dengan perempuan yang memintaku menjadi wedding organizer-nya. Bodoh, kan? sangat.
Keterlaluan. Karena aku sampai berani mengorbankan Adra—lelaki yag kecintaannya padaku mungkin hanya mampu disaingi tokoh utama dalam film-film drama—demi hubungan semu yang nggak menjanjikan apa-apa selain sensasi debar jantung. Tolol kuadrat, kalau aku nggak segera sadar untuk menyudahi semuanya. Dan memperjuangkan kembali cinta Adra yang terlanjur pecah.
Masalahnya, Adra tidak setolol aku! Dia menolak! Haruskah aku menyerah? Oh, andai saja aku diberi kesempatan mempersembahkan perkawinan yang luar biasa baginya (dan bagiku)….



Ehm, aku harus mulai dari mana, ya? Uhm. Oke. Pertama, aku kenalkan dulu bahwa novel ini juga merupakan novel yang dirilis ulang.
Kali ini Mbak Retni mengangkat tema yang tidak biasa, yaitu perselingkuhan. Oleh tokoh wanitanya pula. Ckckck….
Berkisah tentang Harsya yang tidak bisa lepas dari jeratan pesona mantan kekasihnya yang sudah beristri, Figo. Parahnya, istri Figo adalah sahabat SMA-nya yang juga merupakan klien yang menyewa jasanya sebagai wedding organizer. Sebenarnya Harsya bukanlah perempuan yang gatal-gatal amat, karena Figo sepertinya mash menyimpan perasaan yang sama kepadanya. Hanya saja situasi dan kondisi mereka benar-benar telah berbeda. Selain Figo yang sudah memiliki Karin, Harsya juga sudah memiliki Adra.
Harsya dan Adra sudah bersahabat sejak mereka masih bocah ingusan. Adra sudah seperti pahlawan bagi Harsya. Setiap Harsya memiliki kesulitan, Adra selalu pasang badan untuknya, pun ketika Harsya meminta pertolongannya untuk dijadikan pasangan di pernikahan Karin-Figo. Adra yang memang menyayangi Harsya menyetujui walau cowok itu memiliki insting bahwa ada yang salah dengan sahabatnya saat itu. Dan di sinilah kerumitan itu dimulai.
Tema perselingkuhan seperti ini sebenarnya membuat gemas, apalagi yang melakukannya adalah tokoh wanitanya. Ugh. Dobel gemes, deh! Aku tidak habis pikir, kok bisa ya, cewek semanis Harsya dengan karier cemerlang yang tentunya tidak membuatnya sulit dalam hal mencari jodoh malah terjerat cinta terlarang? Cowok lain pada ke mana?Ada juga si Adra, cowok ganteng dengan kebaikan setinggi gunung Himalaya yang terima-terima untuk dijadikan tameng. Ya, ampun! Kegilaan macam apa ini?
Namun, mari kita menghilangkan masalah kebodohan Harsya, karena di luar itu sebenarnya ada banyak kesan yang bisa kita dapatkan dalam buku ini. Membaca buku ini membuat kita semakin paham bahwa kebahagiaan datang dari rasa syukur. Bersyukur dengan apa yang telah kita miliki. Seperti halnya Harya yang harusnya telah memiliki sahabat seperti Adra yang tulus mencintai, bukannya malah mengharapkan cinta lain dari orang yang terlarang.
Ada tokoh Lisa yang selalu disebut-sebut di dalam buku ini. Walau si Lisanya sendiri tidak pernah ditampilkan secara nyata (selalu melalui dialog tokoh lain) namun keberadaannya tetap terasa menurutku. Dan inilah yang bikin aku jadi salut. Mbak Retni selalu sukses dalam pemaparan tokoh-tokohnya.
Mengenai diksi seperti biasa. Selalu fresh dan lincah. Retni SB banget lah! Tapi karya kali ini, takaran kesegarannya tidak seperti karya lainnya. Mungkin karena tema yang diangkat memang benar-benar serius. Jadi yang lebih terasa adalah ketegangan. Tapi aku tetap suka. Apalagi dengan penyelesaian konflik yang begitu manis.
Mbak Retni juga tidak pernah lupa mengajak kita ikut bertualang dengan tokoh-tokohnya. Kali ini di Taman Nasional Betung Kerihun. Karena sebelumnya aku tidak pernah mendengar hutan ini, itu berarti wawasanku jadi bertambah lagi karena buku ini. Hahaha….
Kesimpulannya aku sangat suka novel ini. Walau masih kutemukan sedikit kekurangan. Contohnya ketiadaan label dewasa pada covernya. Kalau saja buku Cinta Paket Hemat dilabeli dewasa, kenapa buku ini tidak? Padahal narasi/deskripsi/adegan layak sensor untuk di bawah umurnya banyak dari Cinta Paket Hemat. Tapi hal itu tidak mengurangi penilaianku terhadap buku ini.
Buku ini kuberi bintang sebanyak empat!

Senin, 29 Agustus 2016

[Review] Megamendung Kembar-Retni SB



Judul   : Megamendung Kembar
Penulis : Retni SB
Editor : Ike Pudjawati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Desain Sampul : Orkha Creative
Tahun Terbit : 2016
Jumlah halaman : 360 halaman

Sinopsis

“Ketika cinta dan luka dirahasiakan oleh bibir, maka batik mampu menyuarakannya….”

Megamendung warna yang tersimpan di lemari itu adalah hasil dialog jiwa dan jemari Sinur dengan canting, malam, kain, primisima, bara tungku, dan akar mengkudu. Memuat kisah rahasia tentang cinta terlarang, luka, perjuangan, sekaligus kepasrahan. Niat Sinur, rahasia lebih dari setengah abad itu akan dibawanya sampai mati.
Namun, Awie bukan cucu yang rela membiarkan kisah masa lalu yang tak tuntas itu menjadi rahasia selamanya. Apalagi ketika dia tahu ada batik serupa yang diperlakukan bagai benda keramat di temapt lain…
Yang membuat Awie bimbang, apakah mengungkap kisah Megamendung kembar itu akan memulihkan sebuah hubungan, atau justru merusak harmoni?



Sebelum membaca buku ini, aku memperhatikan dulu sampulnya. Begitu lama. Lalu kesan yang aku dapatkan, ‘kok sepertinya serius banget, ya?’ hahaha…. Auranya sangat beda dari sampul buku Mbak Retni yang lain, yang lucu dan imut-imut.
Dan… setelah membaca beberapa bagian Megamendung Kembar ini, aku jadi paham, ‘ah, ini yang bikin beda’.
Sebenarnya kisah cinta terlarang sudah pernah diangkat oleh Mbak Retni sebelumnya. Sebut saja His Wedding Organizer (Harsya-Figo), Mencarimu (Irsal Mahangka-Bulan yang kemudian menurun ke Matahari-Rakho), dan kali ini ada Sinur-Musa. Tapi kalau menurutku, Megamendung Kembar lebih mirip dengan Mencarimu. Bedanya, Megamendung Kembar memakai flashback yang memakan banyak bagian. Ada dua kisah yang terasa dipisahkan. Dan inilah yang bikin buku ini beda.
Kisah Sinur banyak yang menyita, bahkan aku tidak bisa membedakan tokoh utamanya. Apakah Sinur yang memulai sejarah, atau Awie yang mengungkap sejarah. Mungkin penulisnya memang sengaja menyerahkan kepada pembacanya untuk menentukan sendiri.
Susah untuk tidak membandingkan buku ini dengan Mencarimu, karena keduanya memang sama. Hanya saja, latar Megamendung Kembar terasa tradisional, apalagi background kisah ini bermula dari batik. Tapi kalau berdasarkan selera, aku lebih menyukai Mencarimu.
Di Mencarimu, kisah semua tokoh terasa menempel, tidak bisa bercerai berai. Benang merahnya oke banget. Sejarah Irsal Mahangka-Bulan terbuka karena adanya kisah Rakho-Matahari, sedangkan di Megamendung Kembar, peran Awie untuk mengungkap kisah masa lalu terasa diatur. Ya, walau keduanya memang disutradarai oleh penulis, tapi Mencarimu lebih alami menurutku. Uhm, sekali lagi ini masalah selera saja.
Sama dengan karyanya yang lain, Mbak Retni kembali menyisipkan salah satu jenis kekayaan Indonesia. Batik. Di sini, segala hal yang menyangkut batik, benar-benar di eksplor. Alat, bahan, proses, bahkan jenis-jenisnya pun dibuka. Aku yang orang awam baru tahu kalau batik pun punya pakem-pakem tersendiri. Kirain cuma asal ukir saja. Hahaha…. Jadi beruntung punya buku ini.
 Keistimewaan buku ini tetap ada. Mataku sampai melotot karena gambaran kota Cirebon yang dipaparkan begitu luwes, seolah penulisnya melihat video yang menampilkan seluruh sudut-sudut Cirebon sambil menulis. Cek dan ricek, eh, ternyata penulisnya memang kelahiran Cirebon. Hahaha… serasa dikerjai. Tapi yang aku yakini, sedalam dan sejauh apa pun pengalaman seorang penulis menelusuri segala sudut dunia ini, jika tidak disertai tangan yang magic, gambaran itu tetap akan tersimpan. Takkan mampu dibagi kepada orang lain. Dan tangan magic itulah yang dimiliki oleh Mbak Retni. Mau deskripsinya nangkap atau tidak untuk pembaca, tapi bagi aku pribadi, rasa, pesan, kesannya selalu mudah melekat di otak. Sugestinya luar biasa, membuatku selalu ingin tahu. Lagipula, buktinya Mbak Retni sukses menggambarkan Kota Cirebon di zaman penjajahan dulu. Salut. TOP, deh!
Penokohannya tidak terasa asing, karena sejauh ini tokoh-tokoh perempuan Mbak Retni memang selalu terasa tough. Tokoh laki-lakinya pun sama. Wajahnya tidak pernah dirincikan dengan detail, memberi peluang pembaca untuk berimajinasi.
Ada satu hal yang bikin aku tidak puas (bukannya tidak suka, lho). Apalagi kalau bukan kisah Is-Awie-Wigie?
Duuuhh…. Emang kisah mereka tidak bisa ditambah lagi, Mbak? Kok, gini amat, ya?
Walaupun tidak menggantung, tapi aku gemas loh, pengin maksa penulisnya nambah bab lagi. Atau kalau perlu, bikin kisah mereka di buku yang lain! Ini kok serasa makan Silverqueen Chunky Bar, tapi potongannya harus dibagi-bagi. Jadinya nggak rela. Masih pengin!
Di luar dari itu, novel ini layak banget untuk dibaca, apalagi dikoleksi. Aku kasih bintang sebanyak empat!


Minggu, 07 Agustus 2016

[Review] The Chronicles of Audy: O2-Orizuka



Bukan Hanya AADC 2, The Chronicles of Audy: O2 pun Patut Dinanti


Hai. Namaku Audy. Umurku masih 22 tahun. Hidupku tadinya biasa-biasa saja, sampai cowok yang kusukai memutuskan untuk meneruskan sekolah ke luar negeri.
Ketika aku sedang berpikir tentang nasib hubungan kami, dia memintaku menunggu.
Namun ternyata, tidak cuma itu. Dia juga memberiku pernyataan yang membuatku ketakutan setengah mati!
Di saat aku sedang kena galau tingkat tinggi, masalah baru (lagi-lagi) muncul.
Seseorang yang tak pernah kulirik sebelumnya, sekarang meminta perhatianku!
Ini adalah kronik dari kehidupanku yang sepertinya akan selalu ribet.
Kronik dari seorang Audy.


“Seperti oksigen, keluarga ada di sekitarmu, di setiap tarikan napasmu, mengalir dalam darahmu. Walaupun kamu nggak selalu bisa lihat, tapi kamu tahu keluarga selalu ada bersama kamu.”
  


Akhirnya setelah sekian lama seri The Chronicles of Audy kelar juga. Sebelum baca seri O2 ini, aku pandangin sampulnya dulu. Lama banget. Aku meneliti tiap sisi dan sudutnya sambil menikmati perasaan aneh. Ehm… senang, bangga, terharu, nggak sabar, tapi sekaligus sedih. Persis sama di beberapa saat sebelum nonton film AADC 2. Aku tahu saat-saat seperti ini pasti akan tiba. Pasti akan berakhir. Jadi aku membacanya benar-benar dengan perasaan.
Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi untuk mengulas tokoh-tokoh serial Audy ini. Aku hanya ingin membagi perasaan yang entah kenapa jadi mellow setelah membacanya, namun aku pahami bahwa nggak ada resensi buku yang hanya berisi curahan hati resensatornya. Hihihi….
Oke. Audy Nagisa. Masih berumur 22 tahun, dan sesungguhnya aku pun sudah cukup lelah untuk mengulang-ulang info kalau dia belum juga lulus. Audy melamar jadi babysitter, kemudian diperalat jadi pembantu, dan pada akhirnya jadi bagian keluarga 4R: Regan, Romeo, Rex dan Rafae.
Singkat kata, setelah satu perjalan roller coaster, dia jatuh cinta kepada anak ketiga keluarga ini, yang secara kebetulan adalah cowok tujuh belas tahun dan ber-IQ 152, yang rumitnya tidak terkira, yang akan berkuliah di luar negeri dalam waktu beberapa bulan lagi.
Seakan kehidupan asmaranya belumlah rumit, Romeo, anak kedua keluarga itu, mengatakan hal-hal bego kepada Rex yang seketika membuat Audy bergidik ngeri.

“Karena aku kakak yang nggak berguna, selama kamu pergi nanti, aku, nggak akan jagain Audy buat kamu. Aku akan jagain Audy, tapi untukku sendiri.”

Walau begitu, Audy tidak menghindari Romeo seperti yang dilakukannya kepada Rex dulu, mungkin karena pembawaan Romeo yang santai, norak, dan konyol, Audy merasa tidak perlu menjaga perasaannya. Mereka tetap seru, mereka bersama-sama menjalankan beberapa misi demi melihat Rex dan Rafael menjadi akur sebelum Rex pergi.
Regan pun masih memiliki peran penting di sini, dia tetap menjadi kakak sulung yang bertanggungjawab terhadap adik-adiknya. Bersama dengan Maura, istrinya, Regan berhasil menjadi kepala keluarga yang sebenarnya. Seperti kata Audy, mereka adalah pasangan sempurna.
Di seri ini, semua masalah telah diselesaikan dengan begitu hangat. Masalah tentang keberangkatan Rex ke MIT, masalah kecanggungan antara Rex dan Rafael, juga masalah beban Maura kepada 4R, terutama kepada Rafael.
Namun yang membuatku supergalau adalah ketika Rex memberikan hadiah perpisahan untuk Audy yang menurutku… manis. Hadiah perpisahan yang tidak terduga atau terbayangkan, baik itu menurut Audy, maupun menurutku sebagai pembaca, dan itu membuatku bahagia bercampur haru.
Belum cukup sampai di situ, suasana kebahagiaan di antara mereka di bagian ending cerita sukses membuatku menarik gulungan tisu. Padahal aku bukanlah orang yang dramatis, apalagi melankolis layaknya Audy. Tapi aku rela, jika pada saat membaca bagian itu roh Audy Nagisa memang bersemayam di tubuhku. Hahaha….
Dalam buku ini, ada kutipan dialog yang membuatku senyum-senyum sendiri sambil guling-guling di kasur. Yaitu, 

Aku mengangguk. “Kamu genius, pintar, dan… cerdas.”
Rex mendengus. “Kamu pacaran sama ensiklopedia aja kalau gitu.”
“Tapi ensiklopedia nggak bikin aku pengin punya tujuan,” kataku lagi. “Ensiklopedia nggak bikin aku pengin jadi lebih baik. Ensiklopedia nggak percaya aku bisa melakukan itu semua.”
Senyum Rex memudar.
“Dan yang paling penting, ensiklopedia nggak bikin aku deg-degan tiap ngelihatnya,” (Halaman 324)

Juga terdapat penggalan surat dari Romeo yang membuatku terbahak sekaligus ingin menabok kepalanya.

‘Mas pasti pulang, Dik. Dari yang merindukanmu juga. Mas Romeo.’ (Halaman 234)
Sampai kalimat Rafael yang membuatku… ekhem… menangis.
“Jangan nangis, Au.” Rafael menarik rokku, berusaha menghibur. “Nanti aku tanamin peppermint juga.” (Halaman 350)

Sekali lagi, roh Audy Nagisa berhasil merasukiku.

Well, tidak bosannya aku mengatakan bahwa sebenarnya aku tidak ingin sampai di sini. Aku belum siap berpisah dengan 4R1A. Mereka benar-benar… ah, sulit dijelaskan. Sampai-sampai serasa aku ingin mendatangi penulisnya untuk tidak mengakhiri kisah ini dulu. Tapi aku yakin, Orizuka sangat waras tidak ingin membiarkan karyanya berakhir seperti sinetron. Selain itu aku cukup diberi pengertian oleh pepatah klasik namun terbukti benar yang berbunyi “Setiap pertemuan pasti ada perpisahan”

Betul, kan?

Jadi rasa-rasanya sebagai pembaca, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Orizuka atas karyanya yang begitu… luar biasa ini. Ada begitu banyak pelajaran yang bisa kita petik dalam kronik kehidupan Audy, asal kita mau membuka mata dan hati.
Sampai di sini, aku rasa sampul O2-lah yang paling pas banget dengan isinya. O2-Oksigen-tumbuhan-hijau.
Tunggu! Bicara apa aku ini? Hmm… begitulah. Semoga dipahami.

Sebelum aku mengakhiri review ini, aku ingin memberi beberapa kutipan dialog konyol Audy.

“Pasti bahagia ya, kalau terlahir bebal kayak kamu.”
“Itu, adalah judul lagu yang lebih ribet dari hidupku.”
“Bisa kamu nggak pake kata-kata ala sinetron gitu?”
“Lakukan itu dan Rex nggak akan pulang untuk selamanya,”
“Aku bukan Putri Indonesia. Aku nggak bikin orang terkesan”

Oke. Intinya, seri terakhir TCoA ini melampaui ekspektasiku. O2 lebih berhasil mengaduk-aduk emosiku dibandingkan dengan AADC 2. Jadi dengan bangga aku memberi bintang sebanyak lima kepada seri terakhir ini. Makanya, untuk kalian yang belum membacanya, apalagi tidak memiliki koleksinya dengan lengkap, aku berani bertaruh bahwa kalian telah RUGI TOTAL. Hehehe…

Keterangan Buku
Penulis                                        : Orizuka
Penyunting                                 : Yuli Yono
Cover desainer dan illustrator    : Bambang ‘Bambi’ Gunawan
Proofreader                                : KP Januwarsi
Jumlah Halaman                         : 364 Hlm; 19 cm
Penerbit                                      : Penerbit Haru
Tahun Terbit                               : 2016

Yuk lihat juga :
[Review] The Chronicles of Audy: 4/4 

dan
[Review] The Chronicles of Audy: 21-Orizuka 

dan
[Review] The Chronicles of Audy: 4R-Orizuka