Kamis, 15 Juni 2017

[Review] Hujan-Tere Liye

Perpaduan Imajinasi dan Logika yang Liar

Judul Buku : Hujan
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Sampul : Orkha Creative
Halaman : 320 Halaman


Ini pertama kalinya saya meresensi karya Tere Liye, maka seperti biasa, saya ingin menceritakan sedikit kilas balik mengapa saya membeli buku ini.
Saya tahu penulis Tere Liye sejak SMA kelas sebelas, tepatnya tujuh tahun lalu. Waktu itu Hafalan Shalat Delisa sudah nangkring manis di beberapa tempat penyewaan buku, termasuk penyewaan yang sering saya kunjungi. Akan tetapi saya tidak pernah merasa tertarik untuk meliriknya, karena pada saat itu saya lebih menggilai novel romance remaja.
Selama menempuh masa kuliah, saya semakin kecanduan oleh fiksi berujud buku. Nama Tere Liye semakin dikenali seiring dengan karya-karyanya yang diangkat menjadi film. Saya pun tahu kalau tulisannya sangat menginspirasi dari berbagai kalangan, bahkan seorang teman (laki-laki) yang saya tahu tidak tertarik dengan hal-hal berbau fiksi mengagumi penulis inspiratif ini. Lagi-lagi saya tidak terpancing, di kala itu kata ‘inspiratif’ sama dengan ‘menggurui’ di telinga saya. Masa berlalu, Tere Liye tidak terlirik.
Akhirnya, empat hari yang lalu, tepatnya 16 April 2017, saya memiliki kesempatan untuk memburu buku yang sudah ditarget sejak lama. Di saat itu saya melihat Hujan dan Tentang Kamu di antara barisan buku lainnya di Gramedia. Waktu itu saya merasa sudah saatnya lah untuk mencoba mengenali karya Tere Liye, mungkin dimulai dari Hujan atau Tentang Kamu atau keduanya. Tapi melihat kondisi kantong yang kering, mau tidak mau saya harus meletakkan kembali salah satunya di rak buku. Apa daya, duit tak sampai.
Setelah menimbang berdasar sinopsis dan harga buku, saya memutuskan membeli Hujan. Sampul yang didominasi warna biru dengan ilustrasi tetes hujan di bagian belakang membuat buku terkesan manis dan romantis. Tanpa sabar, saya langsung membaca halaman pertama begitu mendapatkan waktu yang pas.
Saya salah besar. Ternyata, di menit pertama saya membaca buku ini, kesan berat pada karya-karya Tere Liye langsung luluh. Bahasanya cukup halus, rapi dan terjaga walau saya tidak menemukan gaya santai di sana. Tema dan cara penyajiannya membuat saya sulit untuk tidak membandingkannya dengan Luna Torashyngu, karyanya berupa perpaduan imajinasi dan logika yang liar. Bedanya, membaca Hujan seperti saat saya membaca karya terjemahan. Ya, itu tadi, bahasanya sangat rapi. Sedangkan Luna masih terkesan santai dan meremaja. Mungkin karena beberapa karyanya memang didesain untuk remaja.
Setelah membaca beberapa bab, saya jadi mengangguk-anggukkan kepala. Jadi mengerti mengapa Tere Liye bisa dikagumi oleh pembaca berbagai kalangan. Karakter tulisannya universal sekali, membuat pembacanya yang justru ikut beradaptasi dengan gayanya. Termasuk saya.
Tidak usah ditanya tentang kesalahan penulisan di dalamnya, itu sudah tidak penting lagi. Menurut saya, penulis sekelas Tere Liye seharusnya tidak diragukan lagi tata bahasanya. Kalaupun ada, saya tidak sempat lagi melihatnya karena sudah terhanyut dengan ceritanya. 
Awalnya sulit untuk menentukan genre Hujan ini. Di bab-bab awal, saya merasa buku ini bergenre fantasi, lalu berubah ke petualang, dan terakhir menjadi ilmu pengetahuan. Yang kalau anak kekinian bilang sih, Science fiction. Tapi apa pun genrenya, nilai inspiratif tetap menyelimuti karya ini. Dan satu lagi, ketakutan saya seketika musnah. Saya tidak menemukan kalimat menggurui di sini. Yeay!
Sebagai pecinta romance, sepertinya saya harus bersabar membaca kisah Esok-Lail di dalam. Kisah mereka berjalan begitu apa adanya, mengalir seperti air. Ya, saya tahu kalau Tere Liye bukanlah penulis yang menyukai adegan menye-menye (dilihat dari postingannya di fanpage FB), tapi tetap saja saya merasa gemas dengan karakter Esok. Apa semua laki-laki jenius memang seperti itu? Karena matilah saya yang berkarakter aktif, lincah dan ekspresif ini jika (ekhem) mendapatkan jodoh yang seperti itu. Hahaha....
Yang saya sukai dari Hujan ini adalah plot yang kece dan penggambaran yang luar biasa. Serius, saya memberi bintang lima kapada penulisnya karena berhasil membuat saya turut berimajinasi. Latarnya begitu detail, deskripsi suasananya juara. Walau penulis tidak menyebutkan negara yang diambil sebagai latar secara langsung, saya tidak pernah menganggap bahwa negara itu adalah Indonesia. Entah karena deskripsinya yang bukan Indonesia sekali atau memang karena novel ini bersetting 2042-2050, jadi saya sebagai manusia di jaman 2017 tidak meramalkan Indonesia akan seperti itu di masa depan. Alasan inilah saya menyebutkan bahwa Tere Liye adalah penulis imajinatif yang liar. 
Terakhir, saya ingin menyinggung tentang ending tanpa berusaha spoiler.
Menuju bagian akhir, dada saya bergemuruh, takut, ngeri tapi masih bisa menghela napas di ujung kalimat. Mungkin karena ini kali pertama saya membaca karya Tere Liye, jadi saya tidak tahu bagaimana gaya endingnya. Bisa saja kan, dia adalah penulis yang tega terhadap tokoh-tokohnya? 
Bagaimanapun saya tidak kecewa membaca Hujan ini. Walau merasa tertinggal karena baru membaca karya Tere Liye, saya tidak menyesal karena Hujan lah yang menjadi pertama bagi saya. Melalui Hujan, saya menjadi penasaran dengan karyanya yang lain. Jarang-jarang loh, ada penulis yang membuat saya kecewa sekaligus lega ketika membaca ending karyanya.