Sabtu, 21 Juli 2018

Review: Ingin Kupilih Takdirku - Desti Annor

Judul : Ingin Kupilih Takdirku
Penulis: Desti Annor
Editor: Said Kamil
Ketebalan : 264 hlm
Genre: Religi
Penerbit: Tinta Medina (Tiga Serangkai)

Berkisah tentang empat tokoh yang dihubungkan oleh takdir, namun tetap memiliki keresahan hidup masing-masing. Galetta yang kokoh setelah menemukan prinsip baru, Maizy yang menemukan hakikat harga diri seorang perempuan, Haq dengan kasih dan kejujurannya, dan Aji bersama penemuan makna komitmen sesungguhnya.

Sebuah perjalanan hidup yang memberi mereka pemahaman akan kuasanya tangan Pencipta, menyajikan makna bahwa takdir Tuhan terasa indah jika diperankan dengan sebuah keikhlasan.

Jujur saja, karya ini merupakan karya religi yang pertama kali saya baca selama melepas bangku SMA, jadi wajar apabila di saat membacanya, saya membandingkan dengan novel-novel religi karya Ari Nur, Asma Nadia dan Habiburrahman El Shirazy yang saya baca pada saat itu. Hasilnya? Berikut jawaban saya. 

Secara pribadi, ada tiga hal yang membuat saya membeli sebuah karya (untuk penulis yang baru ingin saya baca karyanya), pertama sampul. Sampul adalah visual yang mengundang saya menentukan akan mengambil karya tersebut dari rak toko buku atau mengabaikannya. Dua, Blurbs. Bagian belakang yang biasanya menampilkan potongan kisah. Tiga, review dari pembaca lain. Jika ketiganya oke, maka saya akan beli. 

Tapi berbeda dengan buku ini. Saya mendapatkannya dengan melanggar prinsip, mengingat sampulnya tidak membuat saya tertarik. Ilustrasi jejak kaki di bibir pantai, dipadukan warna coklat telah memberikan kesan gelap dan kesedihan. Hm, sangat bukan saya. Saya menyukai warna yang cerah dan ceria dengan ilustrasi yang lucu, terkecuali untuk genre Horor dan Sci-fi. Entah Tiga Serangkai memang memiliki karakter sampul seperti itu atau bagaimana, saja juga kurang paham, sebab baru kali ini juga saya membaca karya keluaran penerbit ini. 

Lalu mengapa saya membeli jika kesan pertama saja buku ini gagal seleksi?, sebab saya terlanjur penasaran karena diberi bonus baca dua bab oleh penulisnya, alhasil saya memutuskan untuk mendapatkan buku ini. Harus menuntaskan kisah kesuraman Galetta dan kemanjaan Maizy.

Lanjut! 

Plot karya ini memakai alur maju-mundur-maju-mundur (nggak pakai cantik, ya?), dan sejauh pengalaman membaca fiksi, saya merasa plot seperti ini memang biasanya memberikan rasa penasaran kepada pembaca meskipun resiko cerita akan tampak jalan di tempat. Untungnya, penulis menghilangkan keraguan saya, ceritanya tetap mengalir dengan gerak cepat. Sayangnya di tengah rasa penasaran saya, ada hal yang sedikit mengganggu yaitu perubahan latar yang seolah tiba-tiba (karena tanpa tanda pemisah di setiap bagian) hingga saya harus mengulang ke paragraf sebelumnya lagi untuk meyakinkan bahwa telah terjadi pergantian bagian.

Lanjut!

Penokohan. Semua karakter saya suka, terkecuali Aji. Aji ini memang dikesankan romantis di dalam cerita. Yang jadi masalah, saya tidak suka dengan tokoh yang romantis. Wkwkwk (padahal saya pecinta genre romance). Maksud saya begini, romantisnya Aji adalah romantis yang pada umumnya disepakati oleh orang-orang, namun 'romantis' bagi saya memiliki makna dan aplikasi berbeda. Kesimpulannya, romantisnya Aji tidak berarti romantis bagi saya. Saya tidak menyukai tokoh cowok yang seolah-olah bisa berdarah-darah karena asmara. Ekhem.

Lanjut!

Gaya bahasa. Ada tiga poin yang biasanya saya lihat dalam menentukan gaya bahasa penulis. Narasi/deskripsi, dialog tokoh dan perumpamaan (Ya, iyalah! Apalagi?).

Saya suka cara Mbak Desti mendeskripsikan sesuatu, tidak berbelit-belit dan tidak berputar-putar. Hal itu pun menjadi selaras dengan ketebalan buku yang pas pula. 

Dialog. Untuk bagian ini saya akan mengatakan 'Iyes'. Dialog di karya ini ada banyak, mungkin perbandingannya 40 dengan 60 di bagian narasi/deskripsinya. Saya suka dialog yang banyak, selain tidak membosankan, juga membuat saya lebih dekat dengan tokohnya.

Perumpamaan. Mbak Desti menggunakan perumpamaan yang indah, mulus dan syahdu. Bagi saya yang memang terbiasa membaca fiksi metropop, yang bahasanya to the point, bagian ini sudah saya kategorikan sebagai karya yang sastra, walau tidak 100% juga.

Simpulannya, dengan narasi/deskripsi yang indah namun pas, dialog yang nyaris baku dan perumpamaan yang 'nyastra', gaya bahasa Mbak Desti terkesan lembut, lirih dan halus. Jauh dari kesan serampangan. Saya seperti membaca fiksi kepunyaan majalah Gadis dengan versi lebih panjang.


Ada bagian paling mengganggu, yaitu di halaman 165. Saya bahkan tidak paham meski dibaca berulang-ulang (karena pesan penulisnya saya tidak boleh spoiler, maka saya tidak menampilkan paragraf tersebut).

"Jadi, Mbak, tolong jelasin ke saya halaman itu maksudnya apa? Kenapa Mbak Desti tega sekali memasukkan paragraf di bagian buntut yang membuat saya jadi pusing? Memangnya saya Barbie yang harus dibuat pusing dulu palanya?" 

Oke, skip, dramanya cukup.

Bagian mengganggu lainnya adalah surat dari Haq untuk Galetta yang tidak ditampilkan. Galetta dikesankan bertanya dan berharap (walau tidak berlebihan) akibat surat itu, tentu saja membuat saya ingin tahu, "isi suratnya seperti apa, sih, sampai-sampai Galetta yang kaku itu jadi tersentuh?"

Tapi bagian terbaiknya adalah... Tetedet tedeeeetttt...

Quote di halaman 216 yang berisi penggalan doa Rasulullah SAW saat hijrah ke Thaif. Saya sampai baca berulang-ulang. Dan kali ini asli bukan karena pusing, tapi merinding. Saya berpikir, jika saja seorang Rasul merasakan dirinya selemah itu, mengapa manusia bisa menegakkan kepala dengan congkaknya? Quote ini pun saya anggap menjadi kesimpulan kisah-kisah di dalamnya.

Bagian terbaik lainnya adalah tema yang diangkat penulis. Jika biasanya novel religi mengangkat dan fokus pada satu tema, karya ini justru punya tema yang cukup komplit. Ada rasa kekeluargaan, sahabat dan asmara yang dikemas apik dalam balutan religi, jadi pembaca bisa memilih pesan keagamaan dengan lebih leluasa.

Terakhir, saya menyukai prinsip yang dipegang kuat oleh tokoh-tokohnya. Begitu erat, kuat dan kokoh. Dan bukankah seorang muslim tanpa sebuah prinsip sama saja dengan mati?

Sekian review panjangnya. Dari 1 sampai 5, saya kasih bintang sebanyak 4. Yeay!