Judul : Cinta Paket Hemat
Penulis : Retni SB
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Desain
dan Ilustrasi cover : Kitty
Felicia Ramadhani
Tahun
Terbit : 2007
Jumlah
halaman : 280 halaman
Sinopsis
Wajah
lumayan, karier ada, dukungan keluarga tak pernah kurang, punya teman se-gang
yang asyik, bisa ketawa kapan saja, dan… statusnya buka jomblo. Itulah Pipit.
Semua itu cukup jadi modalnya untuk bahagia, kan? Memang.
Tapi,
sejak dia mendadak ketiban rezeki jadi ibu bagi Lio, bocah laki-laki lima
tahun, hidupnya berubah 180 derajat! Putus dengan pacar, tenaga dan emosi
terkuras ke sana-sini, pekerjaan kacau-balau – bahkan sampe dipecat –
teman-teman menjauh…. Aduh! Semua berantakan!
Apa
yang bisa membuat hidupnya kembali cerah seperti dulu?
Dokter
yang memeriksanya menyarankan supaya dia segera punya pacar. Ha! Mana ada sih
cowok yang mau menerima dia lengkap satu paket dengan Lio?
Bahkan
Pak Sapta, yang dewasa dan mapan, yang mampu melimpahinya dengan perhatian dan
hadiah serbasempurna, tak ingin keasyikan dengan Pipit ditengahi Lio….
Kebalikan
dari Aries. Ah, cowok sinting itu malah mampu membuat Lio menjadi tenang. Tapi
sebelnya, cowok itu hobi benar adu mulut… mulutnya tak pernah berhenti menyela
dan berkomentar…
Well, akhirnya aku jadi tahu, kenapa aku bisa setia
dengan karya Retni SB, padahal tema yang diangkat sih tidak cetar membahana
(pinjam jargon Syahrini), tapi karya-karyanya selalu kutunggu. Mungkin karena
selalu diselipkan petualangan-petualangan hidup yang selalu membuatku tidak
sabar. “Kira-kira kali ini bagian mana lagi dari kisah ini yang akan
menyentil?” begitulah pikiranku di setiap menatap pertama cover bukunya.
Kita mulai dari Pipit. Si gadis manis dan centil ini
sepertinya harus melalui transisi karakter yag mendadak ketika ketiban rezeki
berupa bocah autis, ponakannya yang bernama Lio. Dia yang dulunya periang,
ceria, ceriwis, dan gaul harus berubah menjadi seorang Mama yang telaten, sigap
dan sabar. Rasa duka yang membekas karena kepergian dua orang yang disayanginya
berakibat ke kehidupan kariernya. Dia dipecat karena dianggap kacau dan sudah
tidak becus lagi. kemelut yang beruntun menimpanya sukses membuatnya berubah
menjadi cewek galak, jutek dan emosian. Syukurlah dia masih memiliki Aries, Om-nya
Lio yang biasanya dia panggil monyet.
Aries. Lelaki pemburu berita yang slengekan,
berpenampilan cuek namun memiliki kepedulian tinggu justru memiliki respon yang
berbeda dengan Pipit jika menyangkut Lio. Cowok itu mampu bersikap santai dan
mengambil hati Lio dengan mudah, walau intensitas kebersamaannya dengan Lio
terbilang sedikit. Aries tipe cowok yang bertanggungjawab walau Pipit tidak
yakin cowok itu akan bisa melengkapi paket kehidupannya bersama Lio semenjak
insiden penolakan cintanya.
Kisah ini menceritakan kehidupan orangtua dengan
anak berkebutuhan khusus. Melalui kisah ini, bisa kita pahami bahwa penderita
Autis bukanlah masalah enteng. Anak Autis aka menguras tenaga, pikiran, waktu dan
tentu saja biaya yang mahal. Tapi hal itu tidak lantas mereka harus
diperlakukan berbeda dengan anak lainnya. Hanya saja memang perlu perhatian
ekstra yang tidak setengah-setengah. Dan hanya orangtua istimewa yang sanggup
melalui itu semua. Itulah yag sedang diperjuangkan oleh Pipit dan Aries di
kisah ini. Menjadi orangtua istimewa untuk anak istimewa.
Hm… kurasa buku ini bukan sekedar buku biasa, karena
buku ini disajikan beberapa motivasi yang implisit maupun eksplisit untuk
orangtua penderita Autis. Walau begitu isinya tidak akan membuat pembaca jadi
bosan karena tetap dibumbuhi kisah asmara di sana-sini. Cocoklah dibaca dari
berbagai kalangan, tapi khusus remaja, aku tidak menyarankan buku ini untuk
kalian baca, karena… di dalamnya terdapat beberapa bagian yang belum
sepantasnya kalian baca. Hehehe….
Seperti bukunya yang lain, aku juga mendapatkan hal
istimewa di kisah ini. Yaitu pada saat petualangan Pipit bersama Aries di goa
yang terletak di Gunung Kidul, DIY. Aku seolah ikut larut dalam perjalanan
magis mereka. Sampai di sini aku bertanya-tanya, apakah aku termasuk manusia
pongah di kehidupan yang terang benderang ini? Apakah aku masih bisa merasakan
keceriaan, kepuasan, kebahagiaan dan beragam rasa jika aku hidup tanpa cahaya?
Hanya bisa meraba dan mengira.
Ugh! Gila! Mbak Retni lagi-lagi menyentil melalui
buku ini. T-O-P-B-G-T, deh!
Untuk kisah ini, aku kasih bintang sebanyak empat!