Senin, 29 Agustus 2016

[Review] Megamendung Kembar-Retni SB



Judul   : Megamendung Kembar
Penulis : Retni SB
Editor : Ike Pudjawati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Desain Sampul : Orkha Creative
Tahun Terbit : 2016
Jumlah halaman : 360 halaman

Sinopsis

“Ketika cinta dan luka dirahasiakan oleh bibir, maka batik mampu menyuarakannya….”

Megamendung warna yang tersimpan di lemari itu adalah hasil dialog jiwa dan jemari Sinur dengan canting, malam, kain, primisima, bara tungku, dan akar mengkudu. Memuat kisah rahasia tentang cinta terlarang, luka, perjuangan, sekaligus kepasrahan. Niat Sinur, rahasia lebih dari setengah abad itu akan dibawanya sampai mati.
Namun, Awie bukan cucu yang rela membiarkan kisah masa lalu yang tak tuntas itu menjadi rahasia selamanya. Apalagi ketika dia tahu ada batik serupa yang diperlakukan bagai benda keramat di temapt lain…
Yang membuat Awie bimbang, apakah mengungkap kisah Megamendung kembar itu akan memulihkan sebuah hubungan, atau justru merusak harmoni?



Sebelum membaca buku ini, aku memperhatikan dulu sampulnya. Begitu lama. Lalu kesan yang aku dapatkan, ‘kok sepertinya serius banget, ya?’ hahaha…. Auranya sangat beda dari sampul buku Mbak Retni yang lain, yang lucu dan imut-imut.
Dan… setelah membaca beberapa bagian Megamendung Kembar ini, aku jadi paham, ‘ah, ini yang bikin beda’.
Sebenarnya kisah cinta terlarang sudah pernah diangkat oleh Mbak Retni sebelumnya. Sebut saja His Wedding Organizer (Harsya-Figo), Mencarimu (Irsal Mahangka-Bulan yang kemudian menurun ke Matahari-Rakho), dan kali ini ada Sinur-Musa. Tapi kalau menurutku, Megamendung Kembar lebih mirip dengan Mencarimu. Bedanya, Megamendung Kembar memakai flashback yang memakan banyak bagian. Ada dua kisah yang terasa dipisahkan. Dan inilah yang bikin buku ini beda.
Kisah Sinur banyak yang menyita, bahkan aku tidak bisa membedakan tokoh utamanya. Apakah Sinur yang memulai sejarah, atau Awie yang mengungkap sejarah. Mungkin penulisnya memang sengaja menyerahkan kepada pembacanya untuk menentukan sendiri.
Susah untuk tidak membandingkan buku ini dengan Mencarimu, karena keduanya memang sama. Hanya saja, latar Megamendung Kembar terasa tradisional, apalagi background kisah ini bermula dari batik. Tapi kalau berdasarkan selera, aku lebih menyukai Mencarimu.
Di Mencarimu, kisah semua tokoh terasa menempel, tidak bisa bercerai berai. Benang merahnya oke banget. Sejarah Irsal Mahangka-Bulan terbuka karena adanya kisah Rakho-Matahari, sedangkan di Megamendung Kembar, peran Awie untuk mengungkap kisah masa lalu terasa diatur. Ya, walau keduanya memang disutradarai oleh penulis, tapi Mencarimu lebih alami menurutku. Uhm, sekali lagi ini masalah selera saja.
Sama dengan karyanya yang lain, Mbak Retni kembali menyisipkan salah satu jenis kekayaan Indonesia. Batik. Di sini, segala hal yang menyangkut batik, benar-benar di eksplor. Alat, bahan, proses, bahkan jenis-jenisnya pun dibuka. Aku yang orang awam baru tahu kalau batik pun punya pakem-pakem tersendiri. Kirain cuma asal ukir saja. Hahaha…. Jadi beruntung punya buku ini.
 Keistimewaan buku ini tetap ada. Mataku sampai melotot karena gambaran kota Cirebon yang dipaparkan begitu luwes, seolah penulisnya melihat video yang menampilkan seluruh sudut-sudut Cirebon sambil menulis. Cek dan ricek, eh, ternyata penulisnya memang kelahiran Cirebon. Hahaha… serasa dikerjai. Tapi yang aku yakini, sedalam dan sejauh apa pun pengalaman seorang penulis menelusuri segala sudut dunia ini, jika tidak disertai tangan yang magic, gambaran itu tetap akan tersimpan. Takkan mampu dibagi kepada orang lain. Dan tangan magic itulah yang dimiliki oleh Mbak Retni. Mau deskripsinya nangkap atau tidak untuk pembaca, tapi bagi aku pribadi, rasa, pesan, kesannya selalu mudah melekat di otak. Sugestinya luar biasa, membuatku selalu ingin tahu. Lagipula, buktinya Mbak Retni sukses menggambarkan Kota Cirebon di zaman penjajahan dulu. Salut. TOP, deh!
Penokohannya tidak terasa asing, karena sejauh ini tokoh-tokoh perempuan Mbak Retni memang selalu terasa tough. Tokoh laki-lakinya pun sama. Wajahnya tidak pernah dirincikan dengan detail, memberi peluang pembaca untuk berimajinasi.
Ada satu hal yang bikin aku tidak puas (bukannya tidak suka, lho). Apalagi kalau bukan kisah Is-Awie-Wigie?
Duuuhh…. Emang kisah mereka tidak bisa ditambah lagi, Mbak? Kok, gini amat, ya?
Walaupun tidak menggantung, tapi aku gemas loh, pengin maksa penulisnya nambah bab lagi. Atau kalau perlu, bikin kisah mereka di buku yang lain! Ini kok serasa makan Silverqueen Chunky Bar, tapi potongannya harus dibagi-bagi. Jadinya nggak rela. Masih pengin!
Di luar dari itu, novel ini layak banget untuk dibaca, apalagi dikoleksi. Aku kasih bintang sebanyak empat!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar