Judul : Megamendung Kembar
Penulis : Retni SB
Editor
: Ike Pudjawati
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Desain
Sampul : Orkha Creative
Tahun
Terbit : 2016
Jumlah
halaman : 360 halaman
Sinopsis
“Ketika cinta dan luka dirahasiakan oleh bibir, maka
batik mampu menyuarakannya….”
Megamendung
warna yang tersimpan di lemari itu adalah hasil dialog jiwa dan jemari Sinur
dengan canting, malam, kain, primisima, bara tungku, dan akar mengkudu. Memuat
kisah rahasia tentang cinta terlarang, luka, perjuangan, sekaligus kepasrahan.
Niat Sinur, rahasia lebih dari setengah abad itu akan dibawanya sampai mati.
Namun,
Awie bukan cucu yang rela membiarkan kisah masa lalu yang tak tuntas itu
menjadi rahasia selamanya. Apalagi ketika dia tahu ada batik serupa yang
diperlakukan bagai benda keramat di temapt lain…
Yang
membuat Awie bimbang, apakah mengungkap kisah Megamendung kembar itu akan
memulihkan sebuah hubungan, atau justru merusak harmoni?
Sebelum membaca buku ini, aku memperhatikan dulu
sampulnya. Begitu lama. Lalu kesan yang aku dapatkan, ‘kok sepertinya serius
banget, ya?’ hahaha…. Auranya sangat beda dari sampul buku Mbak Retni yang
lain, yang lucu dan imut-imut.
Dan… setelah membaca beberapa bagian Megamendung
Kembar ini, aku jadi paham, ‘ah, ini yang bikin beda’.
Sebenarnya kisah cinta terlarang sudah pernah
diangkat oleh Mbak Retni sebelumnya. Sebut saja His Wedding Organizer
(Harsya-Figo), Mencarimu (Irsal Mahangka-Bulan yang kemudian menurun ke
Matahari-Rakho), dan kali ini ada Sinur-Musa. Tapi kalau menurutku, Megamendung
Kembar lebih mirip dengan Mencarimu. Bedanya, Megamendung Kembar memakai flashback yang memakan banyak bagian.
Ada dua kisah yang terasa dipisahkan. Dan inilah yang bikin buku ini beda.
Kisah Sinur banyak yang menyita, bahkan aku tidak
bisa membedakan tokoh utamanya. Apakah Sinur yang memulai sejarah, atau Awie
yang mengungkap sejarah. Mungkin penulisnya memang sengaja menyerahkan kepada
pembacanya untuk menentukan sendiri.
Susah untuk tidak membandingkan buku ini dengan
Mencarimu, karena keduanya memang sama. Hanya saja, latar Megamendung Kembar terasa
tradisional, apalagi background kisah
ini bermula dari batik. Tapi kalau berdasarkan selera, aku lebih menyukai
Mencarimu.
Di Mencarimu, kisah semua tokoh terasa menempel,
tidak bisa bercerai berai. Benang merahnya oke banget. Sejarah Irsal
Mahangka-Bulan terbuka karena adanya kisah Rakho-Matahari, sedangkan di
Megamendung Kembar, peran Awie untuk mengungkap kisah masa lalu terasa diatur.
Ya, walau keduanya memang disutradarai oleh penulis, tapi Mencarimu lebih alami
menurutku. Uhm, sekali lagi ini masalah selera saja.
Sama dengan karyanya yang lain, Mbak Retni kembali
menyisipkan salah satu jenis kekayaan Indonesia. Batik. Di sini, segala hal
yang menyangkut batik, benar-benar di eksplor. Alat, bahan, proses, bahkan
jenis-jenisnya pun dibuka. Aku yang orang awam baru tahu kalau batik pun punya
pakem-pakem tersendiri. Kirain cuma asal ukir saja. Hahaha…. Jadi beruntung
punya buku ini.
Keistimewaan
buku ini tetap ada. Mataku sampai melotot karena gambaran kota Cirebon yang
dipaparkan begitu luwes, seolah penulisnya melihat video yang menampilkan
seluruh sudut-sudut Cirebon sambil menulis. Cek dan ricek, eh, ternyata
penulisnya memang kelahiran Cirebon. Hahaha… serasa dikerjai. Tapi yang aku
yakini, sedalam dan sejauh apa pun pengalaman seorang penulis menelusuri segala
sudut dunia ini, jika tidak disertai tangan yang magic, gambaran itu tetap akan tersimpan. Takkan mampu dibagi
kepada orang lain. Dan tangan magic itulah yang dimiliki oleh Mbak Retni. Mau
deskripsinya nangkap atau tidak untuk pembaca, tapi bagi aku pribadi, rasa,
pesan, kesannya selalu mudah melekat di otak. Sugestinya luar biasa, membuatku
selalu ingin tahu. Lagipula, buktinya Mbak Retni sukses menggambarkan Kota
Cirebon di zaman penjajahan dulu. Salut. TOP, deh!
Penokohannya tidak terasa asing, karena sejauh ini
tokoh-tokoh perempuan Mbak Retni memang selalu terasa tough. Tokoh laki-lakinya pun sama. Wajahnya tidak pernah
dirincikan dengan detail, memberi peluang pembaca untuk berimajinasi.
Ada satu hal yang bikin aku tidak puas (bukannya
tidak suka, lho). Apalagi kalau bukan kisah Is-Awie-Wigie?
Duuuhh…. Emang kisah mereka tidak bisa ditambah
lagi, Mbak? Kok, gini amat, ya?
Walaupun tidak menggantung, tapi aku gemas loh,
pengin maksa penulisnya nambah bab lagi. Atau kalau perlu, bikin kisah mereka
di buku yang lain! Ini kok serasa makan Silverqueen Chunky Bar, tapi
potongannya harus dibagi-bagi. Jadinya nggak rela. Masih pengin!
Di luar dari itu, novel ini layak banget untuk dibaca,
apalagi dikoleksi. Aku kasih bintang sebanyak empat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar