Takut
Diciptakan untuk Membuat Kita jadi Berani
Judul : Apa Pun Selain Hujan
Penulis: Orizuka
Editor: Yulliya
Desainer Sampul: Agung Nugroho
Penerbit: GagasMedia
Wira membenci hujan. Hujan
mengingatkannya akan sebuah memori buruk, menyakitinya....
Agar bisa terus melangkah, Wira
meninggalkan semuanya. Ia meninggalkan kota tempat tinggalnya. Meninggalkan
mimpi terbesarnya. Bahkan, meninggalkan perempuan yang disayanginya.
Namun, seberapa jauh langkah Wira
meninggalkan mimpi, mimpi itu justru semakin mendekat. Saat ia sedang berusaha
keras melupakan masa lalu, saat itulah ia bertemu Kayla.
Pertemuan itu mengubah segalanya.
Sebuah novel tentang melepakan mimpi
di bawah hujan. Tentang cinta yang diam-diam tumbuh bersama luka. Juga tentang
memaafkan diri sendiri.
Awalnya
saya sama sekali tidak memiliki niat untuk mengoleksi buku ini. Bukannya tidak
ingin membacanya, sungguh, hanya orang yang menutup mata yang tidak melihat
kehebatan Orizuka meramu kata. Hanya saja, setelah membaca sinopsisnya, saya
tidak begitu tertarik mengoleksi, mungkin karena saya sudah terbiasa dengan
cerita karya Orizuka yang segar dan lincah, sedangkan melihat sinopsisnya, yang
bisa saya tangkap adalah kegelapan dan kegamangan. Sangat bukan Orizuka sama
sekali.
Akhirnya,
karena suatu insiden, buku ini saya beli juga. Seperti biasa, sebelum membaca
isinya, saya menatap sampulnya, tapi karena saya belum mendapat sesuatu yang
menarik, saya mencari bookmark-nya, dan setelah dapat, saya mulai
sedikit tahu seperti apa isi di dalamnya.
Dalam
proses membacanya, semakin lama semakin saya memahami, bahwa Orizuka sama
sekali tidak hilang dalam tulisan ini. Gaya penulisnya tetap konsisten,
dialognya tetap manis dan penokohannya tetap menarik. Salah satu yang tetap
terasa yaitu tokoh cewek yang catchy (sama dengan novelnya yang lain).
Hanya saja kali ini berisi konflik yang memang agak serius.
Bercerita
tentang Wira yang berusaha menghapus masa lalunya yang buruk. Taekwondo yang
menjadi passion-nya justru membuatnya kehilangan sahabatnya, juga
perempuan yang disayanginya. Rasa bersalah yang dimulai di hari itu, tepat di
saat hujan turun dengan lebat, membuatnya benci, bahkan trauma oleh hujan.
Sayangnya, Wira tidak pernah memprediksi sebelumnya, bahwa tempat sebagai
pelariannya justru kembali menyeretnya ke memori masa lalu. Pertemuan tanpa
sengaja dengan Kayla adalah awal dari jawaban atas dukanya selama ini.
Seperti
yang saya bilang sebelumnya, karya ini tidak membuat gaya Orizuka jadi hilang,
justru membuatnya lebih berwarna. Sebelum Apa Pun Selain Hujan, konflik serius
pernah diangkat oleh penulis dengan judul Our Story. Mungkin ada yang beda dari
segi penulisan, karena di Apa Pun Selain Hujan, semua informasi disampaikan
dengan apik. Tidak kurang, namun juga tidak berlebihan. Terasa pas.
Dari
segi penokohannya pun terasa akrab. Walau saya tidak menemukan sisi mellow
dalam tokoh ceweknya, tapi karakter Kayla yang lincah, gesit dan periang
membuatnya jadi istimewa. Justru sisi mellow-nya ada pada Wira, tokoh cowoknya.
Tapi bukan mellow dalam artian menangis tersedu sambil meratapi nasib yang
begitu malang. Bukan. Penulis berhasil menampakkan mellow dari sisi cowok, yang
pasti beda dengan mellow-nya cewek.
Beralih
dari sisi mellow, saya ingin mengulas keistimewaan buku ini. Di buku ini, saya
bisa menemukan pelajaran paling berharga. Bahwa rasa takut harusnya tidak
dijauhi, tapi dihadapi. Ketika kita berlari menjauh dari rasa takut itu, justru
dia akan semakin kuat mengejar dan membayangi. Tidak akan berakhir dan akan
selalu seperti itu. Saatnya kita berbalik dan menghadapi bagai ksatria penentu
nasib perang.
Bukankah
takut diciptakan untuk membuat kita menjadi berani?
Sebelum
mengakhiri review ini, saya ingin membagi beberapa kutipan dialog manis
sekaligus menjadi favorit di dalam buku ini. Berikut kutipannya:
Kayla
tahu-tahu melongok ke belakang. “Hari ini kamu beda banget, Wira,” komentarnya.
Membuat Wira mendadak panik. “Lebih ganteng.” (Halaman 157)
Wira
meraih tali ransel Kayla, lalu melepasnya. “Sini. Aku aja yang bawa.”
“Duh...,
manisnya,” goda Kayla. Wira mendelik sambil mengenakan ransel itu—yang beratnya
mungkin setengah berat badannya sendiri. “Sudah ganteng, baik hati lagi. Anak
siapa, sih?”
“Bawel,”
tukas Wira setengah bercanda, membuat Kayla terbahak. Wira sendiri berusaha
untuk menelan rasa keki dan gelinya pada saat yang bersamaan. (Halaman 158)
Akhirnya,
dengan rasa bangga saya merekomendasikan buku ini untuk dikoleksi. Tidak akan
rugi pastinya. Saya saja telah menyesal karena tidak membelinya saat cetakan
pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar