Selasa, 07 Februari 2017

[Review] Apa Pun Selain Hujan-Orizuka

Takut Diciptakan untuk Membuat Kita jadi Berani

Judul : Apa Pun Selain Hujan
Penulis: Orizuka
Editor: Yulliya
Desainer Sampul: Agung Nugroho
Penerbit: GagasMedia


Wira membenci hujan. Hujan mengingatkannya akan sebuah memori buruk, menyakitinya....
Agar bisa terus melangkah, Wira meninggalkan semuanya. Ia meninggalkan kota tempat tinggalnya. Meninggalkan mimpi terbesarnya. Bahkan, meninggalkan perempuan yang disayanginya.
Namun, seberapa jauh langkah Wira meninggalkan mimpi, mimpi itu justru semakin mendekat. Saat ia sedang berusaha keras melupakan masa lalu, saat itulah ia bertemu Kayla.
Pertemuan itu mengubah segalanya.

Sebuah novel tentang melepakan mimpi di bawah hujan. Tentang cinta yang diam-diam tumbuh bersama luka. Juga tentang memaafkan diri sendiri.

Awalnya saya sama sekali tidak memiliki niat untuk mengoleksi buku ini. Bukannya tidak ingin membacanya, sungguh, hanya orang yang menutup mata yang tidak melihat kehebatan Orizuka meramu kata. Hanya saja, setelah membaca sinopsisnya, saya tidak begitu tertarik mengoleksi, mungkin karena saya sudah terbiasa dengan cerita karya Orizuka yang segar dan lincah, sedangkan melihat sinopsisnya, yang bisa saya tangkap adalah kegelapan dan kegamangan. Sangat bukan Orizuka sama sekali.
Akhirnya, karena suatu insiden, buku ini saya beli juga. Seperti biasa, sebelum membaca isinya, saya menatap sampulnya, tapi karena saya belum mendapat sesuatu yang menarik, saya mencari bookmark-nya, dan setelah dapat, saya mulai sedikit tahu seperti apa isi di dalamnya.
Dalam proses membacanya, semakin lama semakin saya memahami, bahwa Orizuka sama sekali tidak hilang dalam tulisan ini. Gaya penulisnya tetap konsisten, dialognya tetap manis dan penokohannya tetap menarik. Salah satu yang tetap terasa yaitu tokoh cewek yang catchy (sama dengan novelnya yang lain). Hanya saja kali ini berisi konflik yang memang agak serius.
Bercerita tentang Wira yang berusaha menghapus masa lalunya yang buruk. Taekwondo yang menjadi passion-nya justru membuatnya kehilangan sahabatnya, juga perempuan yang disayanginya. Rasa bersalah yang dimulai di hari itu, tepat di saat hujan turun dengan lebat, membuatnya benci, bahkan trauma oleh hujan. Sayangnya, Wira tidak pernah memprediksi sebelumnya, bahwa tempat sebagai pelariannya justru kembali menyeretnya ke memori masa lalu. Pertemuan tanpa sengaja dengan Kayla adalah awal dari jawaban atas dukanya selama ini.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, karya ini tidak membuat gaya Orizuka jadi hilang, justru membuatnya lebih berwarna. Sebelum Apa Pun Selain Hujan, konflik serius pernah diangkat oleh penulis dengan judul Our Story. Mungkin ada yang beda dari segi penulisan, karena di Apa Pun Selain Hujan, semua informasi disampaikan dengan apik. Tidak kurang, namun juga tidak berlebihan. Terasa pas.
Dari segi penokohannya pun terasa akrab. Walau saya tidak menemukan sisi mellow dalam tokoh ceweknya, tapi karakter Kayla yang lincah, gesit dan periang membuatnya jadi istimewa. Justru sisi mellow-nya ada pada Wira, tokoh cowoknya. Tapi bukan mellow dalam artian menangis tersedu sambil meratapi nasib yang begitu malang. Bukan. Penulis berhasil menampakkan mellow dari sisi cowok, yang pasti beda dengan mellow-nya cewek.
Beralih dari sisi mellow, saya ingin mengulas keistimewaan buku ini. Di buku ini, saya bisa menemukan pelajaran paling berharga. Bahwa rasa takut harusnya tidak dijauhi, tapi dihadapi. Ketika kita berlari menjauh dari rasa takut itu, justru dia akan semakin kuat mengejar dan membayangi. Tidak akan berakhir dan akan selalu seperti itu. Saatnya kita berbalik dan menghadapi bagai ksatria penentu nasib perang.
Bukankah takut diciptakan untuk membuat kita menjadi berani?

Sebelum mengakhiri review ini, saya ingin membagi beberapa kutipan dialog manis sekaligus menjadi favorit di dalam buku ini. Berikut kutipannya:

Kayla tahu-tahu melongok ke belakang. “Hari ini kamu beda banget, Wira,” komentarnya. Membuat Wira mendadak panik. “Lebih ganteng.” (Halaman 157)

Wira meraih tali ransel Kayla, lalu melepasnya. “Sini. Aku aja yang bawa.”
“Duh..., manisnya,” goda Kayla. Wira mendelik sambil mengenakan ransel itu—yang beratnya mungkin setengah berat badannya sendiri. “Sudah ganteng, baik hati lagi. Anak siapa, sih?”
“Bawel,” tukas Wira setengah bercanda, membuat Kayla terbahak. Wira sendiri berusaha untuk menelan rasa keki dan gelinya pada saat yang bersamaan. (Halaman 158)

Akhirnya, dengan rasa bangga saya merekomendasikan buku ini untuk dikoleksi. Tidak akan rugi pastinya. Saya saja telah menyesal karena tidak membelinya saat cetakan pertama.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar