Dari Putri Fiona Hingga Dunia Plato
Hai. Namaku Audy. Umurku masih 22
tahun. Hidupku tadinya biasa-biasa saja sampai aku memutuskan untuk bekerja di
rumah 4R.
Aku sempat berhenti, tapi mereka
berhasil membujukku untuk kembali setelah memberiku title baru: “bagian dari
keluarga”
Di saat aku merasa semakin akrab
dengan mereka, pada suatu siang, salah seorang dari mereka mengungkapkan
perasaannya kepadaku.
Aku tidak tahu harus bagaimana!
Lalu, seolah itu belum cukup mengagetkan,
terjadi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan siapa pun.
Ini, adalah kronik dari kehidupanku
yang semakin ribet.
Kronik dari seorang Audy.
“Setelah
Audy pergi, kami langsung sadar kalau kehadiran Audy sangat penting bagi kami.
Bukan sebagai pembantu ataupun baby sitter, tapi sebagai… bagian dari
keluarga.”
Kalimat Regan di atas memang manis. Sangat manis
malah. Apalagi untuk gadis pemimpi seperti Audy. Hanya saja kalimat manis itu
hanyalah kemasannya saja, karena kenyataannya Audy masih merasa diperlakukan
sebagai pembantu di keluarga 4R. dan… ya, tentu saja, masih menjadi korban bully Romeo dan Rafael.
Sebelum membahas lebih jauh, aku perkenalkan dulu.
Buku ini merupakan seri kedua The Chronicles of Audy, yang sebelumnya berjudul
4R.
4R masih sama. Regan, masih bermulut manis walau
pelit, Romeo masih jorok dan membaca majalah dewasa, Rex masih setia dengan
sikap sinis dan judesnya, dan Rafael masih belita dengan gaya hidup yang
dewasa.
Audy pun masih sama. Masih memiliki wajah seperti
Putri Fiona (kata Rafael). Masih bertahan dengan delusi-delusi tidak
pentingnya, dan… masih belum menyelesaikan skripsinya. Hanya saja hidupnya
semakin kronik lagi setelah pengakuan perasaan dari Rex. Iya, Rex. R3 yang
masih berusia 17 tahun dengan IQ yang super-duper mencengangkan. Seakan
hidupnya belum rumit, Rex dengan teori Plato-nya menyampaikan perasaannya
dengan cara yang tidak bisa Audy pahami. Audy mungkin bisa saja mengantisipasi
jika Rex seperti cowok pada umumnya (bersikap romantis, berusaha menarik perhatian
Audy dan sejenisnya), tapi ini?
“Tapi…
maaf, aku nggak bisa menerima perasaan kamu itu.”
“Aku
nggak ingat pernah minta kamu menerima apa-apa,” kata Rex akhirnya, membuatku
mengerjap.
“Ha?”
sahutku.
“Aku
cuma ngasih tahu kalau aku suka kamu,” lanjut Rex. “Nggak perlu diterima. Nggak
perlu ditolak. Cukup untuk kamu ketahui.” (Halaman 120)
Hal ini membuat Audy
sangsi dan berujung kepada perkembangan delus-delusinya yang… sekali lagi nggak
penting itu.
Selain itu, di sini, kehidupan Romeo yang masih misterius
di seri pertama juga mulai nampak. Romeo sudah terbuka mengenai traumanya
kepada Audy hingga membuat keduanya menjadi dekat. Karena Audy, Romeo jadi
mengingat Almarhumah mamanya, dan karena Romeo, Audy masih merasa menjadi
manusia normal di keluarga itu.
Ups… Udah sejauh ini, ya? Oke, karena untuk
menghindari spoiler yang berkepanjangan, acara intipnya disudahi dulu.
Selanjutnya mari kita ulas yang lainnya.
Well,
membaca seri kedua ini sebenarnya belum bisa buat aku puas. Selain skripsi Audy
yang belum beres, dunia Plato-nya Rex juga masih nanggung. Tapi akhirnya aku
tahu kalau ini adalah keinginan penulisnya untuk membuat pembacanya penasaran.
Jadilah aku pasrah dengan gigit jari sambil berdelusi tentang seri selanjutnya.
Dan sampai di sini aku sadar kalau roh Audy Nagisa telah bersemayam di tubuhku.
Walau begitu, aku banyak tersenyum malu membaca
beberapa kalimat romantis ala Rex di dalamnya. Seperti,
“Aku
mendeskripsikan kualitas yang aku nggak punya, dan aku cari.,” sanggah Rex.
“Love is the desire for perpetual possession of the good. Kata Plato.”
(Halaman 293)
Atau,
“Kamu
adalah entitas yang jadi kelemahan sekaligus kekuatanku; yang membuatku merasa
lebih hidup.” (Halaman 294)
Awalnya aku terbahak, namun berikutnya, bibirku seolah tidak bisa berhenti tertarik karena
senyuman malu yang muncul. Hahaha…. Cowok ini memang jempolan! Membuat pembaca
sepertiku jadi labil. Kemarin aku berada di tim Regan, namun sekarang
sepertinya aku telah beralih kepada ABG ini. Aku jadi berangan-angan memiliki
cowok seperti Rex!
Uhm. Oke. “Kumohon, Audy Nagisa, berhentilah
menghantuiku!”
Yang membuat aku masih memberi empat bintang untuk
novel ini adalah gaya khas Orizuka yang masih bertahan di dalam. Seperti kataku
tadi, semua tokoh masih memiliki karakter yang sama, sehingga hal ini membuat
mereka terasa nyata. Benar-benar melekat di otakku. Taruhan, aku langsung
teringat kepada novel ini jika seseorang menyebut nama Audy, meskipun yang
orang itu maksud adalah mobil Audi. Bahkan Romeo juga. Maksudku, nama Romeo kan
sudah dipakai di karya fenomenal William Shakespeare, tapi entah kenapa aku jadi merasa Romeo
ini, ya, salah satu anggota 4R. Tokohnya Orizuka. Begitu pun dengan tokoh
lainnya.
Sampulnya pun tetap konsisten dengan ilustrasi yang
lucu. Ilustrasi Audy di atas kapal bersama bendera bergambar 4R terasa klop. Begitu
presisi.
Jadi para remaja, aku rekomendasikan novel ini untuk
kalian. Aku saja yang sudah… eh, masih remaja juga sih waktu baca ini. Hihihi….
Intinya, novel ini recommended
banget.
Keterangan Buku
Judul : The
Chronicles of Audy: 21
Penulis :
Orizuka
Penyunting : Tia Widiana
Cover
desainer dan illustrator : Bambang
‘Bambi’ Gunawan
Proofreader : NyiBlo
Jumlah
Halaman : 308 hlm;
19 cm
Penerbit : Penerbit
Haru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar